Sabtu, 07 Maret 2020

3 Kaum Cerdik Pandai yang Dimusnahkan Allah

3 Kaum Cerdik Pandai yang Dimusnahkan Allah
 
Bencana dasyat yang menghancurkan (foto:Istimewa)
RIWAYAT Nabi dalam kitab suci Alquran banyak memberikan pelajaran berharga bagi umat Muslim. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari berbagai riwayat itu. Di antaranya adalah riwayat dimusnahkannya tiga kaum cerdik pandai.

Bukti pernah adanya kaum cerdik pandai itu, saat ini bisa dilihat di wilayah Yordania yang berada di utara Arab Saudi. Di sana, anda dapat menemukan sebuah lembah yang bernama Lembah Rum atau Lembah Petra.

Di daerah ini, berbagai peninggalan purbakala berada. Mulai dari bangunan-bangunan indah dan besar seperti istana kekaisaran Romawi yang terbuat dari bukit-bukit batu cadas dengan cara dipahat.



Kendati bangunan itu sudah berdiri sejak ribuan tahun lalu, namun teknologi yang digunakannya untuk mendirikan bangunan itu hingga kini masih belum ada yang bisa menandingi. Inilah salah satu bukti kepintaran kaum itu.

1. Kaum Tsamud


Kaum pertama yang dimusnahkan oleh Allah SWT adalah kaum Tsamud. Kaum ini hidup di zaman Nabi Shaleh. Dalam Surat Al Araaf ayat 73-74 disebutkan, bahwa kaum Tsamud dimusnahkan karena mengingkari nikmat Allah dan tidak mau menyembah-Nya.

“Hai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada Ilah bagi kalian selain-Nya... Kalian dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kalian pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah," demikian surat itu.

Kaum Tsamud adalah salah satu kaum cerdik pandai yang memiliki keahlian dalam membangun atau arsitek. Bangunan-bangunan indah di Yordania itulah bukti pernah adanya kaum Tsamud ini.

Bagaimana kaum Tsamud dimusnahkan? Disebutkan bahwa kaum Tsamud mengingkari ajaran Nabi Shaleh yang diberikan mukzijat seekor unta betina yang dikeluarkan dari celah batu dengan izin Allah sebagai kebesaran kepada kaum Tsamud.


Namun bukannya menerima ajaran Nabi Shaleh, mereka malah menistakannya. Bahkan, mukzijat unta betina yang diberikan kepada Nabi Shaleh disembelih. Hal ini membuat Allah murka dan mengirimkan bencana dasyat kepada mereka semua.

"Mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan," ungkap Surat Al Araaf Ayat 78. Ditambahkan Surat Fushilat Ayat 17, "mereka disambar petir yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan".

Kendati dilanda gempa dasyat dan petir yang menggelegar hebat hingga memusnahkan seluruh kaum Tsamud, namun bangunan hasil karya mereka tetap dibiarkan utuh oleh Allah sebagaui bukti pernah adanya kaum itu.

2. Kaum Aad


Kaum cerdik pandai kedua yang dimusnahkan Allah, karena menistakan Nabi dan menolak untuk menyembah Tuhan selain Allah adalah kaum Aad. Kaum Ad menyembah matahari dari puncak piramida Mesir dan percaya pada keabadian jiwa.

Kaum Aad dipimpin oleh seorang Raja bernama Adites yang memiliki tubuh sangat besar dan membawa pengaruh juga sangat besar terhadap peradaban terdahulu. Dia disebut juga dengan Shedd Ad Ben Ad atau Shed Ad bin Ad.

Konon katanya, dia adalah penduduk pertama negara Arab yang dikenal dengan sebutan Adites atau Kaum Aad cucu Ham. Adites mungkin adalah manusia Atlantis atau Ad-lantis yang membuat sebuah istana dan ingin membangun taman Eden.

Keahlian Kaum Aad yang paling terkenal adalah di bidang arsitek dan pembangun. Orang-orang Arab menyebut sisa reruntuhan situs yang mereka bangun sebagai bangunan Adites.


Salah satu sisa peninggalan bangunan Kaum Aad adalah piramida Mesir. Bangunan ini memiliki serambi bertiang dengan kolom berselubung berhiaskan emas dan perak. Pada ornamen dan kerangka pintu diletakkan piring emas dengan batu mulia.

Dalam Alquran disebutkan kiasan bahwa Kaum Aad mendirikan bangunan di tempat-tempat yang tinggi yang penggunaannya sia-sia. Mereka juga menyembah berhala dan meyakini ajaran Sabaeism atau Dewa-dewa Bintang.

Selain memiliki kemajuan material yang luar biasa, mereka juga bersekutu dengan kebejatan moral yang besar dan ritual cabul. Bangsa Adites kemudian dimusnahkan melalui banjir besar saat banjir besar Nabi Nuh. Kaum ini hidup di zaman Nabi Hud.

Namun begitu, keturunan Kaum Aad masih tersisa dan lolos dari banjir besar Nabi Nuh. Mereka lalu mendirikan pusat kekuasaan selanjutnya di Sheba, dan bertahan selama seribu tahun.

3. Kaum Madyan


Kaum Madyan adalah sebutan untuk penduduk Negeri Madyan. Para penduduk negeri ini hidup di zaman Nabi Syuaib. Mereka tidak mempercayai Allah, menyembah hutan dan Aikah atau padang Pasir yang ditumbuhi pohon dan tanaman.

Saat Nabi Syuaib diturunkan, penduduk Negeri Madyan sudah sangat sesat. Mereka hidup dalam maksiat yang sangat parah, kebiasaan buruk mereka yang sangat jahat adalah mengurangi takaran atau timbangan dalam berdagang.

Praktik curang atau korupsi yang dikenal pada saat ini, masih terus berlangsung sejak dimulai oleh Kaum Madyan. Saat tengah dilanda kemaksiatan itu, Nabi Syuaib mengajak Kaum Madyan untuk menyembah Allah dan menjauhi kezaliman.


Namun, imbauan Nabi Syuaib hanya dianggap angin lalu. Bahkan, para pengikut Kaum Madyan yang tidak mau mengikuti ajaran Nabi Syuaib suka menghalang-halangi para pengikut Nabi Syuaib yang beriman.

Bahkan banyak dari mereka yang dipaksa dengan kekerasan untuk meninggalkan ajaran Nabi Syuaib. Walau demikian, Nabi Syuaib tetap sabar dan terus melaksanakan dakwahnya hingga membuat Kaum Madyan jengkel dan ingin membunuhnya.

Nabi Syuaib dan pengikutnya lalu hijrah meninggalkan Negeri Madyan menuju Aikah. Di negeri baru ini, Nabi Syuaib dan pengikutnya juga mendapatkan serangan dari penduduk Negeri Aikah yang menolak ajakan Nabi Syuaib menyembah Allah.

Mereka bahkan menantang agar Nabi Syuaib mendatangkan azab yang dijanjikan Allah. Tantangan itu langsung disambut dengan serangan udara yang sangat panas, sehingga seluruh penduduk keluar dari rumahnya masing-masing untuk mencari udara segar.


Tetapi di manapun mereka berada, udara telah berubah menjadi panas hingga menyesakkan dada dan nafas mereka. Udara panas ini pernah melanda kawasan Amerika hingga mengakibatkan ratusan jiwa melayang, dan kini kawasan Asia.

Saat seluruh warga kebingungan, tiba-tiba nampak awan hitam menaungi kawasan lembah. Mereka gembira, dikira awan itu akan mendatangkan hujan, hawa sejuk yang mereka rindukan akan segera terhirup. Namun angan-angan itu buyar berantakan.

Awan hitam yang dianggap hujan malah mendatanglah angin kencang dan membuat mereka terhempas dan terlempar. Dari awan hitam pekat itu lalu keluar petir yang saling bersahutan dan binasa lah kaum yang durhaka itu.


Tidak ada satupun dari mereka yang tersisa. Hanya Nabi Syuaib dengan para pengikutnya saja lah yang bisa selamat, karena mendapat rahmat dan perlindungan dari Allah SWT. Demikian riwayat Kaum Madyan ini berakhir.

Selain ketiga kaum cerdik pandai yang telah dimusnahkan itu, masih ada sejumlah kaum cerdik pandai lainnya yang juga ingkar dan tidak mau menyembah Allah. Semoga ulasan singkat ini dapat menambah ketakwaan kita terhadap Allah SWT.

Sabtu, 22 Februari 2020

Kisah Kehancuran Kaum 'Aad

"Aad" adalah nama bapa suatu suku yang hidup di jazirah Arab di suatu tempat bernama "Al-Ahqaf" terletak di utara Hadramaut antara Yaman dan Umman dan termasuk suku yang tertua sesudah kaum Nabi Nuh serta terkenal dengan kekuatan jasmani dalam bentuk tubuh-tubuh yang besar dan sasa. Mereka dikurniai oleh Allah s.w.t. tanah yang subur dengan sumber-sumber airnya yang mengalir dari segala penjuru sehinggakan memudahkan mereka bercucuk tanam untuk bahan makanan mereka dan memperindah tempat tinggal mereka dengan kebun-kebun bunga yang indah-indah. Berkat kurnia Allah s.w.t. itu mereka hidup menjadi makmur, sejahtera dan bahagia serta dalam waktu yang singkat mereka berkembang biak dan menjadi suku yang terbesar diantara suku-suku yang hidup di sekelilingnya.
Sebagaimana dengan kaum Nabi Nuh kaum Hud ialah suku Aad ini adalah penghidupan rohaninya tidak mengenal Allah Yang Maha Kuasa Pencipta alam semesta. Mereka membuat patung-patung yang diberi nama " Shamud" dan " Alhattar" dan itu yang disembah sebagai tuhan mereka yang menurut kepercayaan mereka dapat memberi kebahagiaan, kebaikan dan keuntungan serta dapat menolak kejahatan, kerugian dan segala musibah. Ajaran dan agama Nabi Idris dan Nabi Nuh sudah tidak berbekas dalam hati, jiwa serta cara hidup mereka sehari-hari. Kenikmatan hidup yang mereka sedang tenggelam di dalamnya berkat tanah yang subur dan menghasilkan yang melimpah ruah menurut anggapan mereka adalah kurniaan dan pemberian kedua berhala mereka yang mereka sembah. Kerananya mereka tidak putus-putus sujud kepada kedua berhala itu mensyukurinya sambil memohon perlindungannya dari segala bahaya dan mushibah berupa penyakit atau kekeringan.
Sebagai akibat dan buah dari aqidah yang sesat itu pergaulan hidup mereka menjadi dikuasai oleh tuntutan dan pimpinan Iblis laknatullah, di mana nilai-nilai moral dan akhlak tidak menjadi dasar penimbangan atau kelakuan dan tindak-tanduk seseorang tetapi kebendaan dan kekuatan lahiriahlah yang menonjol sehingga timbul kerusuhan dan tindakan sewenang-wenang di dalam masyarakat di mana yang kuat menindas yang lemah yang besar memperkosa yang kecil dan yang berkuasa memeras yang di bawahnya. Sifat-sifat sombong, congkak, iri-hati, dengki, hasut dan benci-membenci yang didorong oleh hawa nafsu merajalela dan menguasai penghidupan mereka sehingga tidak memberi tempat kepada sifat-sifat belas kasihan, sayang menyayang, jujur, amanat dan rendah hati. Demikianlah gambaran masyarakat suku Aad tatkala Allah s.w.t. mengutuskan Nabi Hud sebagai nabi dan rasul kepada mereka.
 ‎
Beliau bernama Hud bin Syalakh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh ‘Alaihimussalam. Dikatakan juga bahwa beliau adalah Abir bin Syalakh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh. Atau ada juga yang menyebut beliau dengan Hud bin ‘Abdullah bin Rabbah bin Al-Jarud bin ‘Aad bin Aus bin Irm bin Sam bin Nuh. Demikianlah yang disebutkan oleh Ibnu Jarir. [Tarikh Ath-Thabari 1/133].
Kaum ‘Aad merupakan bangsa Arab yang menempati Al-Ahqaf yaitu bukit-bukit pasir. Tempat itu terletak di Yaman dari Amman dan Hadhramaut di sebuah tempat yang dekat dengan laut, disebut juga Asy-Syahr. Nama lembahnya adalah Mughits, kaum ‘Aad lebih banyak tinggal di perkemahan yang memiliki pasak tiang-tiang yang besar dan tinggi sebagaimana firman Allah Ta’ala :

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. [QS Al-Fajr : 6-7]
Maksudnya adalah kaum ‘Aad Iram. Kaum ini adalah kaum ‘Aad yang pertama, sedangkan kaum ‘Aad yang kedua maka mereka adalah yang terakhir. Kaum ‘Aad hidup berkelompok-kelompok seperti qabilah dan mereka mempunyai keahlian membangun bangunan yang tinggi-tinggi seperti baru saja disebutkan dalam firman Allah Ta’ala. Sebagian ulama dan ahli sejarah mengatakan Nabi Hud ‘Alaihissalam adalah orang pertama yang berbicara dengan bahasa Arab. Wahb bin Munabbih menyebutkan bahwa ayahnya Nabi Hud yang pertama kali berbicara dengan bahasa Arab. Sebagian mereka berkata bahwa Nuh-lah yang pertama kali berbicara dengan bahasa Arab, sementara yang lainnya berkata bahwa ia adalah Adam. Allahu a’lam.
Diriwayatkan bahwa bangsa Arab sebelum Isma’il adalah bangsa Arab Aribah, mereka merupakan suatu kabilah yang banyak, diantara mereka adalah ‘Aad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis, Umaim, Madyan, Imlaq, Abil, Jasim, Qaththan dan lainnya. Dalam Shahih Ibnu Hibban, diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar -radhiyallahu ‘anhu- dalam sebuah hadits yang panjang setelah menyebutkan kisah para Nabi dan Rasul, Rasulullah bersabda, “…Dari mereka terdapat 4 orang Arab yaitu Hud, Shalih, Syu’aib dan Nabimu wahai Abu Dzar.” [Shahih Ibnu Hibban (361)].
Nabi Hud ‘Alaihissalam Diutus Allah kepada Kaum ‘Aad
Kaum ‘Aad adalah kaum yang durhaka kepada Allah Ta’ala dengan menjadi kaum yang pertama kali menyembah berhala setelah peristiwa banjir besar dan luluh lantaknya umat manusia yang kafir. Berhala mereka ada tiga yaitu Shad, Shamuda, Hara. Oleh karena itu, Allah Ta’ala utus saudara mereka, Hud ‘Alaihissalam untuk mengembalikan mereka kepada aqidah tauhid yang bersih dari syirik. Allah Ta’ala berfirman :
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” [QS Al-A’raaf : 65].
Mereka adalah bangsa Arab yang keras tabiat, kafir, angkuh dan menyembah berhala. Kemudian Nabi Hud menyeru mereka untuk kembali ke jalan Allah Azza wa Jalla, mengesakanNya dengan melaksanakan ibadah secara ikhlas kepadaNya, namun mereka mendustakan beliau, menentangnya dan mengejeknya. Allah Ta’ala berfirman :

قَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِينَ

Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta”. [QS Al-A’raaf : 66]. 
Maksudnya adalah perkara yang beliau serukan kepada kaumnya untuk diikuti adalah sebuah kedustaan terhadap kegiatan penyembahan berhala yang telah berlangsung ini yang mana kaum yang durhaka tersebut mengharapkan kemenangan, rizki hanya dari berhala-berhala tersebut.
Nabi Hud berkata, seperti difirmankan Allah Ta’ala :

قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ

Hud berkata: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikit pun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanah Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu”. [QS Al-A’raaf : 67-68]. 
Maksudnya adalah perkara ini bukan kedustaan seperti yang dikira kaumnya beliau. Nabi Hud telah berusaha menyampaikan dengan bahasa yang lugas, fasih dan sederhana. Ini merupakan berkah dan nasehat bagi kaumnya dan kasih sayang beliau kepada mereka serta beliau sangat ingin kaumnya menuju jalan hidayah. Beliau tidak pernah meminta upah atau balasan tetapi beliau melaksanakan dakwahnya dengan penuh keikhlasan demi mencari ridha Allah.
Kaum ‘Aad berkata kepada Nabi Hud :

قَالُوا يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَمَا نَحْنُ بِتَارِكِي آلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ إِنْ نَقُولُ إِلا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ مِن دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لاَ تُنظِرُونِ

“Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Hud menjawab, “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” [QS Hud : 53-55]
Ini merupakan tantangan balik dari Nabi Hud untuk kaumnya dan pernyataan bara’ (berlepas diri) dari sesembahan mereka, dan menjelaskan kepada kaumnya bahwa sesembahan mereka tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat, mereka adalah benda-benda mati yang tak berdaya apa-apa.
Dan Nabi Hud berkata, seperti dalam firman Allah :

إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” [QS Hud : 56]
Ini adalah bukti yang kuat bahwa Nabi Hud adalah hamba dan utusan Allah yang diutus untuk menyampaikan kalimat haq, namun kaumnya tetap dalam kebodohan dan kesesatan, mereka tidak mau mengakui Allah sebagai Tuhan mereka sekeras apapun usaha Nabiyullah Hud ‘Alaihissalam untuk menyadarkan mereka.
Kaum ‘Aad Meminta Disegerakan Adzab
Akhirnya apa yang terjadi pada kaum Nuh pun berulang pada kaum ‘Aad, mereka meminta disegerakan adzab karena mereka mendustakan bahwa Nabi Hud adalah utusan Allah, mereka tidak mempercayai bahwa adzab itu adalah haq karena mereka tidak beriman kepada Allah. Mereka menyangka Nabi Hud adalah seorang pendusta padahal sebaliknya, merekalah yang pendusta. Mereka berkata, seperti difirmankan Allah :

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. [QS Al-A’raaf : 70]
Mereka juga berkata :

قَالُوا سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَوَعَظْتَ أَمْ لَمْ تَكُنْ مِنَ الْوَاعِظِينَ إِنْ هَذَا إِلا خُلُقُ الأوَّلِينَ وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ

Mereka menjawab: “Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasihat atau tidak memberi nasihat, (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu, dan kami sekali-kali tidak akan di “azab”. [QS Asy-Syu’ara : 136-138]
Nabi Hud sedih mendengar perkataan kaumnya yang bodoh. Nabi Hud berdo’a kepada Allah :

قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي بِمَا كَذَّبُونِ قَالَ عَمَّا قَلِيلٍ لَيُصْبِحُنَّ نَادِمِينَ فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ بِالْحَقِّ فَجَعَلْنَاهُمْ غُثَاءً فَبُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku.” Allah berfirman: “Dalam sedikit waktu lagi pasti mereka akan menjadi orang-orang yang menyesal.” Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami jadikan mereka (sebagai) sampah banjir maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang lalim itu. [QS Al-Mu’minuun : 39-41]
Ibnu Katsir berkata, Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ketika kaum ‘Aad meminta disegerakan adzab, Allah Ta’ala memulai dengan menahan hujan selama 3 tahun, kemudian mereka meminta jalan keluar kepada Allah di Bait dan Haram mereka yang mana tempat itu terkenal di kalangan penduduk zaman itu. Di dalamnya terdapat bangsa Amaliq keturunan dari Imlaq bin Lawadz bin Sam bin Nuh, pemimpin mereka kala itu adalah Mu’awiyyah bin Bakr, ibunya berasal dari kaum ‘Aad, namanya Jalhadah binti Al-Khaibari. Kaum ‘Aad mengutus delegasi berjumlah sekitar 70 orang untuk mengambil air. Kemudian mereka melewati Mu’awiyyah di daerah Makkah, lalu mereka singgah selama sebulan di tempatnya untuk meminum khamr dan memberikannya pada Mu’awiyyah.
Setelah selesai mengunjungi Mu’awiyyah, maka mereka segera beranjak ke Al-Haram dan berdoa untuk kaumnya. Kemudian salah seorang pemuka agama yang bernama Qail bin Anaz berdo’a untuk mereka. Maka Allah mengirimkan 3 awan yaitu putih, merah, hitam kemudian mereka diseru dari langit, “Pilihlah untukmu dan kaummu dari awan ini. Qail menjawab, “Aku memilih yang berwarna hitam.” Qail menyangka bahwa awan hitam adalah awan yang membawa hujan untuk mereka.
Kemudian Allah mengirimkan awan hitam yang telah dipilih Qail kepada kaum ‘Aad, hingga awan itu keluar di sebuah lembah yang dinamakan Al-Mughits. Penduduk kaum ‘Aad melihatnya dan mereka bergembira ria, mereka berkata, “Inilah hujan untuk kami!”. Allah Ta’ala berfirman :

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لا يُرَى إِلا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ

Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan)! bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. [QS Al-Ahqaf : 24-25]
Orang pertama dari kaum ‘Aad yang melihat kalau awan itu adalah angin yang menghancurkan adalah seorang wanita bernama Mahd. Ketika dia melihatnya, dia pun berteriak dan jatuh pingsan. Ketika siuman, kaumnya bertanya padanya, “Apa yang kau lihat wahai Mahd?” Dia menjawab, “Aku melihat awan hitam bagai meteor dari neraka, di depannya ada seorang lelaki yang menuntunnya!”
Lalu Allah Ta’ala menggerakkan awan hitam tersebut 7 hari berturut-turut mengepung mereka. Tidak ada seorangpun yang dibiarkan hidup di dalam desa kaum ‘Aad, sementara Nabiyullah Hud ‘Alaihissalam dan orang-orang yang telah beriman terlebih dahulu sudah pergi dari kaumnya, mengasingkan diri dan menghindar dari adzab dan siksa Allah yang pedih.
Kisah serupa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya [no. 15524 dengan sanad hasan] dari hadits Al-Harits bin Yazid Al-Bakri mengenai seorang wanita tua dari Bani Tamim.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas serta lebih dari satu imam para tabi’in berkata, Angin tersebut dingin dan sangat kencang. [Jami’ul Bayan Ath-Thabari 24/102]
Firman Allah Ta’ala :

وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ

Adapun kaum Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). [QS Al-Haqqah : 6-7].
Allah menyerupakan kaum itu dengan tunggul pohon kurma yang tidak memiliki kepala karena angin waktu itu mendatangi mereka dan mengangkat mereka ke atas dengan kencangnya lalu memutar kepala-kepala mereka hingga putus dan yang tersisa hanya jasad tanpa kepala. Beberapa dari mereka ada yang mengungsi ke gua-gua dan gunung-gunung karena rumah-rumah mereka telah hancur. Kemudian Allah mengutus angin Al-Aqim, yaitu angin panas yang disertai nyala api di belakangnya. Kaum ‘Aad yang tersisa menyangka angin inilah yang akan menyelamatkan mereka. Padahal angin ini justru mengumpulkan mereka semua dalam pusaran hawa dingin dan panas yang sangat membinasakan. Inilah adzab angin terdahsyat dalam sejarah yang pernah terjadi di muka bumi disertai dengan teriakan-teriakan yang amat memilukan dari kaum ‘Aad. Inilah adzab yang mereka meminta-minta untuk disegerakan kedatangannya. Na’udzubillahi min dzaalik.
Riwayat menyebutkan bahwa Nabi Hud dimakamkan di negeri Yaman, ini dari riwayat ‘Ali bin Abi Thalib. Riwayat lain menyebutkan kuburannya berada di Damaskus, di masjidnya terdapat tempat yang banyak dikira orang-orang bahwa itu merupakan makam Nabi Hud ‘Alahissalam.
Telah selesai pengungkapan terhadap penemuan kota Iram Dzatul ‘Imad (pemilik tiang-tiang) sekitar tahun 1998 Masehi di daerah Syasher di padang pasir Zhafar. Dan jarak penemuan itu sekitar 150 Km sebelah utara kota Shoalalah dan 80 Km dari kota Tsamrit. Telah disebutkan kota Iram dan penduduknya, kaum ‘Aad di banyak tempat dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah,

إرم ذات العماد‏*‏ التي لم يخلق مثلها في البلاد‏*‏‏  ‏الفجر‏ : 8 -7

”(yaitu) Penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain.” QS. Al-Fajr: 7-8)
Dan itu adalah negerinya ‘Aad kaum Nabi Hud ’alaihissalam yang telah Allah binasakan dengan angin yang sangat dingin dan kencang, dan saya yakin anda semua mengetahui kisahnya yang disebutkan dalam al-Qur’an. Dan datang penyebutan kaum ‘Aad dan negerinya, Iram di dua surat dalam al-Qur’an, salah satunya dengan nama Nabi mereka yaitu Hud’alaihissalam, dan yang kedua dengan nama tempat tinggal mereka yaitu al-Ahqaaf, dan di dalam puluhan ayat al-Qur’an yang terdapat dalam 18 surat dalam al-Qur’an. Dan penyebutan kaum ‘Aad dalam al-Qur’an terhitung sebagai pemberitaan paling banyak dibandingkan dengan pemberitaan tentang ummat-ummat yang lain yang dibinasakan , sebagai bentuk keajaiban dalam al-Qur’an. Hal itu karena kaum ini (‘Aad) telah dibinasakan secara total dengan angin berpasir yang tidak sewajarnya. Pasir-pasir itu mengubur dan menutup peninggalan-peninggalan mereka, hingga tersembunyi (tertutup) semua peninggalan mereka dari muka Bumi.
Dan hal itu menyebabkan sebagian besar arkeolog dan ahli sejarah mengingkari dan tidak membenarkan adanya kaum ‘Aad pada zaman dahulu, dan mereka (arkeolog dan ahli sejarah) menganggap penyebutan tentang mereka (kaum ‘Aad) dalam al-Qur’an sebagai kisah-kisah simbolik (yang tidak ada kenyataanya) untuk diambil pelajaran dan pengalaman. Bahkan lebih parah lagi sebagian penulis buku menganggap mereka (kaum ‘Aad) sebagai dongeng yang tidak ada sama sekali kenyataannya dalam sejarah.
Kemudian munculah penelitian-penelitian arkeolog pada tahum 80-an atau 90-an di abad ke-20 dengan penelitian tentang negeri Iram di padang pasir ar-Rub’u al-Khali di Zhaafar 150 Km sebelah utara kota Shalabah, selatan kerajaan Oman. Dan penemuan meraka membuktikan kebenaran al-Qur’an dalam semua yang diberitakan di dalamnya tentang kaum ‘Aad.
Berangkat dari hal tersebut maka pembahasan hal ini di sini hanya mencukupkan diri pada penemuan arkeologi di atas dan pada apa yang dicatat dalam al-Qur’an surat al-Fajr ayat 6-8 semenjak 1400 tahun yang lalu. Dan seandainya al-Qur’an menunjukkan pada sesuatu, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hakekat yang sebenarnya bahwa al-Qur’an adalah benar-benar firman Allah Sang Pencipta. Dialah yang menurunkan al-Qur’an dengan ilmu-Nya kepada penutup para Nabi dan Rasul (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau shallallahu ‘alaihi wasallammenjaganya untuk kita dengan bahasa wahyu yang diwahyukan kepadanya (bahasa Arab). Maka al-Qur’an tetap terjaga dengan tata bahasa Rabbani, dengan kebenaran setiap huruf dan kalimatnya dan isyarat di dalamnya.
Iram Dzatul ‘Imad dalam sejarah Islam
Di dalam tafsir tentang apa yang datang tentang kaum ‘Aad dalam al-Qur’an, sejumlah ulama ahli tafsir, ahli Geografi, ahli sejarah dan ahli nasab (silsilah keturunan) muslim seperti ath-Thabari, as-Suyuthi, al-Qozwaini, al-Hamdani, Yaqut al-Hamawi dan al-Mas’udi bersemangat untuk mengungkap tentang hakekat mereka. Mereka (para ulama di atas) menyebutkan bahwa kaum ‘Aad termasuk al-Arab al-Baa’idah (Arab yang telah musnah). Dan mereka (al-Arab al-Baa’idah) dianggap mencakup banyak kaum yang telah musnah ratusan tahun sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di antara mereka kaum ‘Aad, Tsamud, al-Wabar, dan selain mereka masih banyak lagi.
Dan mereka (para ulama di atas) mengetahui dari ayat-ayat al-Qur’an bahwa tempat tinggal kaum ‘Aad adalah di Ah-Qaaf jamak dari kata Haqf yang berarti pasir yang miring. Dia adalah salah satu daerah bagian dari ar-Rab’u al-Khali dengan Hadhramaut di sebelah selatannya, ar-Rab’u al-Khali di selatannya dan dengan Oman di sebelah timurnya, dan dia sekarang adalah dareh Zhaafar. Dan sebagaimana mereka juga mengetahui bahwa Nabi mereka adalah Hud’alaihissalam, dan bahwasanya setelah binasanya orang-orang kafir dari kaumnya, Hud ’alaihissalam tinggal di bumi Hadhramaut samapai beliau meninggal, dan beliau dikebumikan di dekat Wadi Barhut arah timur dari kota Tarim.
Adapun tentang kaum Iram pemilik bangunan tinggi itu, maka al-Hamadani (wafat tahun 334H/946M) dan Yaqut al-Hamawi (wafat tahun 627H/1229M) menyebutkan bahwa bangunan tinggi mereka yang dahulu adalah hasil bangunan Syaddad bin ‘Aad dan telah hilang musnah (tertimbun pasir), dan ia tidak diketahui sekarang, walaupun beredar di cerita-cerita tentangnya.
Takhtimah
‎حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نُصِرْتُ بِالصَّبَا وَأُهْلِكَتْ عَادٌ بِالدَّبُورِ قَالَ وَقَالَ ابْنُ كَثِيرٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ أَبِي نُعْمٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذُهَيْبَةٍ فَقَسَمَهَا بَيْنَ الْأَرْبَعَةِ الْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ الْحَنْظَلِيِّ ثُمَّ الْمُجَاشِعِيِّ وَعُيَيْنَةَ بْنِ بَدْرٍ الْفَزَارِيِّ وَزَيْدٍ الطَّائِيِّ ثُمَّ أَحَدِ بَنِي نَبْهَانَ وَعَلْقَمَةَ بْنِ عُلَاثَةَ الْعَامِرِيِّ ثُمَّ أَحَدِ بَنِي كِلَابٍ فَغَضِبَتْ قُرَيْشٌ وَالْأَنْصَارُ قَالُوا يُعْطِي صَنَادِيدَ أَهْلِ نَجْدٍ وَيَدَعُنَا قَالَ إِنَّمَا أَتَأَلَّفُهُمْ فَأَقْبَلَ رَجُلٌ غَائِرُ الْعَيْنَيْنِ مُشْرِفُ الْوَجْنَتَيْنِ نَاتِئُ الْجَبِينِ كَثُّ اللِّحْيَةِ مَحْلُوقٌ فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ يَا مُحَمَّدُ فَقَالَ مَنْ يُطِعْ اللَّهَ إِذَا عَصَيْتُ أَيَأْمَنُنِي اللَّهُ عَلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَلَا تَأْمَنُونِي فَسَأَلَهُ رَجُلٌ قَتْلَهُ أَحْسِبُهُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ فَمَنَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى قَالَ إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا أَوْ فِي عَقِبِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

Telah bercerita kepadaku [Muhammad bin 'Ar'arah] telah bercerita kepada kami [Syu'bah] dari [Al Hakam] dari [Mujahid] dari [Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ""Aku ditolong dengan perantaraan angin yang berhembus dari timur (belakang pintu Ka'bah) sedangkan kaum 'Aad dibinasakan dengan angin yang berhembus dari barat". Perawi berkata; Dan Ibnu Katsir berkata dari Sufyan dari bapaknya dari Ibnu Abi Nu'im dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu berkata; 'Ali mengirim perhiasan emas kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu Beliau membagikannya kepada empat orang, yaitu kepada Al Aqra' bin Habis Al Hanzhaliy, yang kemudian sebutannya menjadi Al Mujasyi'iy, 'Uyaynah bin Badr Al Fazariy, Zaid ath-Tha'iy kemudian dia menjadi salah seorang suku Bani Nabhan dan 'Alqamah bin 'Ulatsah yang kemudian menjadi salah seorang suku Bani Kilab. Orang-orang Qurais dan Kaum Anshar menjadi marah. Mereka berkata; "Beliau telah memberi para pahlawan penduduk Nejed dan malah mengabaikan kita". Beliau berkata: "Aku memberi mereka dengan tujuan agar menjinakkan hati mereka" (ke dalam Islam). Lalu datanglah seseorang yang kedua matanya menjorok ke dalam, wajahnya kusut dengan jenggotnya dicukur seraya berkata: "Bertaqwalah kamu kepada Allah, wahai Muhammad". Maka Beliau berkata: "Siapakah yang dapat bertaqwa kepada Allah seandainya aku saja mendurhakai-Nya. Apakah patut Allah memberi kepercayaan kepadaku untuk penduduk bumi sementara kalian tidak mempercayai aku?". Kemudian ada seseorang, aku kira dia adalah Khalid bin Al Walid, yang meminta izin untuk membunuh orang itu namun Beliau melarangnya. Setelah orang itu pergi, Beliau bersabda: "Sesungguhnya dari asal orang ini atau di belakang orang ini (keturunan) akan ada satu kaum yang mereka membaca al-Qur'an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama bagaikan keluarnya anak panah dari busurnya dan mereka membunuh pemeluk Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Seandainya aku bertemu dengan mereka pasti aku akan bunuh mereka sebagaimana kaum "Ad dibantai".
Sanad:
Abdullah bin 'Abbas bin 'Abdul Muthallib bin Hasyim >> Mujahid bin Jabar >> Al Hakam bin 'Utaibah >> Syu'bah bin Al Hajjaj bin Al Warad >> Muhammad bin 'Ar'arah bin Al Birindi
Skema: Mutashil, Kedudukan:Marfu'
Penguat:
Bukhari No.3796, Ahmad No.1909, Ahmad No.2827, Ahmad No.3005, Ahmad No.3167, Ahmad No.3359

Rabu, 29 Juni 2016

Kisah Nabi Ischaq Dalam Al-Qur'an

Beliau merupakan anak dari Nabi Ibrahim dari istri pertamanya Siti Sarah. Yang berarti, Ishaq adalah saudara tiri dari Nabi Ismail. Garis keturunanya adalah Ishak bin Ibrahim bin Azar bin Nahur bin Suruj bin Ra’u bin Falij bin ‘Abir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Syam bin Nuh. Nantinya, Ishaq adalah seorang ayah dari salah satu anak kembarnya bernama Yakub yang juga diangkat oleh Allah SWT sebagai Nabi.
Dalam Al-Quran, Kisah Nabi ishaq tidak banyak diceritakan. Dalam Al-quran, Allah tidak menyebutkan secara panjang lebar kisah Nabi Ishaq, demikian pula tentang kaum yang diutus kepada Nabi Ishaq (Meski ada riwayat yang menyebut Ishaq diutus untuk berdakwah kepada kaum Kana’an di wilayah Al-Khalil Palestina).
Dikisahkan Setelah Allah mengaruniakan Ismail kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala agar dikaruniakan anak dari istrinya yang bernama Sarah; istri yang selalu setia bersamanya dalam menegakkan kalimatullah. Maka Allah mengabulkan doanya dan mengutus beberapa malaikat dalam bentuk manusia untuk menyampaikan kabar gembira kepadanya akan lahirnya seorang anak dari istrinya; Sarah. Mereka juga memberitahukan tujuan mereka yang lain, yaitu pergi mendatangi kaum Luth untuk menimpakan azab kepada mereka.
Ketika para malaikat itu datang kepada Nabi Ibrahim, maka ia menyambut mereka dengan sebaik-baiknya dan mendudukkan mereka di ruang tamu, selanjutnya ia segera menyiapkan jamuan makan untuk mereka. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah seorang yang selalu memuliakan tamu di samping sebagai seorang yang dermawan.
Tidak lama kemudian, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam datang membawa anak sapi yang gemuk yang telah dipanggang serta menghidangkannya kepada mereka, tetapi mereka tidak makan dan tidak meminum jamuan yang telah dihidangkan itu, hingga akhirnya Nabi Ibrahim merasa takut terhadap mereka, maka malaikat-malaikat itu pun menenangkannya dan memberitahukan kepadanya tentang diri mereka serta memberikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang ‘alim (berilmu).
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى قَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ حَنِيذٍ (69) فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ لُوطٍ (70) وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ (71) قَالَتْ يَا وَيْلَتَا أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ (72) قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ (73) 

Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, "Selamat." Ibrahim menjawab, "Selamatlah." Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata, "Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Lut.” Dan istrinya berdiri (di sampingnya),lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira akan (kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya'qub. Istrinya berkata, "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak, padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh." Para malaikat itu berkata, "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kalian, hai ahli bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” QS Hud Ayat 69-73)
Allah Swt. berfirman:
{وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا}

Dan sesungguhnya telah datang utusan-utusan Kami (Hud: 69)
Mereka terdiri atas kalangan para malaikat.
إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَى

kepada Ibrahim dengan membawa berita gembira.(Hud: 69)
Menurut suatu pendapat, para malaikat itu datang menyampaikan berita gembira kepada Ibrahim akan kelahiran Ishaq. Menurut pendapat lain, berita gembira tersebut ialah kebinasaan kaum Lut. Pendapat yang pertama diperkuat oleh firman-Nya yang mengatakan:
{فَلَمَّا ذَهَبَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ الرَّوْعُ وَجَاءَتْهُ الْبُشْرَى يُجَادِلُنَا فِي قَوْمِ لُوطٍ}

Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, dia pun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Lut. (Hud: 74)
Firman Allah Swt.:
{قَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ}

mereka mengucapkan, "Selamat.” Ibrahim menjawab, "Selamatlah.” (Hud: 69)
Maksudnya, semoga keselamatan terlimpahkan pula atas kalian. Ulama Bayan mengatakan bahwa ungkapan ini merupakan ungkapan salam penghormatan yang baik, karena bacaan rafa menunjukkan pengertian tetap dan selamanya.
{فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ حَنِيذٍ}

maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. (Hud: 69)
Nabi Ibrahim pergi dengan cepat, lalu segera kembali seraya membawa suguhan dan jamuan buat tamu-tamunya itu, yaitu berupa sapi muda yang dipanggang. Haniz artinya dipanggang di atas batu yang dipanaskan. Demikianlah menurut makna yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, seperti juga yang disebutkan dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
{فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلا تَأْكُلُونَ}

Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata, "Silakan kalian makan.” (Adz-Dzariyat: 26-27)
Ayat ini mengandung etika penghormatan kepada tamu dipandang dari berbagai seginya.
Firman Allah Swt.:
{فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ}

Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka. (Hud: 70)
Yakni Nabi Ibrahim merasa keheranan dengan sikap mereka.
{وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً}

dan merasa takut kepada mereka. (Hud: 70)
Demikian itu karena malaikat tidak membutuhkan makanan, tidak menginginkannya, tidak pula pernah memakannya. Melihat sikap mereka yang berpaling dari apa yang disuguhkannya kepada mereka, tanpa ada rasa keinginan sama sekali, maka pada saat itu: Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka dan merasa takut kepada mereka. (Hud: 70)
As-Saddi mengatakan bahwa ketika Allah mengutus sejumlah malaikat untuk membinasakan kaum Nabi Lut, maka para malaikat itu menyerupakan dirinya sebagai pemuda yang tampan-tampan; mereka berjalan dan mampir di rumah Nabi Ibrahim, bertamu kepadanya. Ketika Nabi Ibrahim melihat kedatangan mereka: Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar). (Adz-Dzariyat: 26)
Nabi Ibrahim menyembelih anak sapi, lalu dipanggangnya di atas bara api; setelah masak, dia menghidangkannya kepada mereka. Nabi Ibrahim duduk bersama mereka, sedangkan Sarah —istrinya— melayani tamu-tamu itu. Demikian itu terjadi di saat istrinya berdiri, sedangkan Ibrahim duduk (bersama mereka). Menurut qiraat Ibnu Mas'ud disebutkan:
"فَلَمَّا قَربه إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ

Maka tatkala Ibrahim menghidangkan suguhannya kepada mereka, Ibrahim berkata, "Silakan kalian makan.”
Mereka menjawab, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kami tidak mau memakan sesuatu makanan kecuali dengan membayar harga (imbalan)nya." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya makanan ini pun ada harganya." Mereka bertanya, "Apakah harganya?" Ibrahim berkata, "Kalian sebutkan asma Allah pada permulaannya, kemudian kalian memuji kepada-Nya di akhirnya." Maka Jibril melihat kepada Mikail seraya berkata, "Orang ini berhak bila dijadikan oleh Tuhannya sebagai kekasih-Nya." Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka. (Hud : 70)
Tatkala Ibrahim a.s. melihat bahwa mereka (tamu-tamunya) itu tidak mau menyantap hidangannya, ia terkejut dan timbullah rasa takut di hatinya terhadap mereka. Lain halnya dengan Sarah (istri Nabi Ibrahim). Ketika ia melihat bahwa Ibrahim a.s. telah menghormati mereka, ia bangkit melayani mereka dengan tersenyum ramah seraya berkata, "Sungguh aneh tamu-tamu kita ini, mereka kita layani secara langsung sebagai penghormatan kita kepada mereka, tetapi mereka tidak mau menyantap sajian kita ini."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Qais, dari Usman ibnu Muhaisin sehubungan dengan kisah tamu-tamu Nabi Ibrahim, bahwa mereka terdiri atas empat malaikat, yaitu Jibril, Mikail, Israfil dan Rafa'il. Nuh ibnu Qais mengatakan bahwa Nuh ibnu Abu Syaddad menduga bahwa ketika mereka masuk ke dalam rumah Nabi Ibrahim, dan Nabi Ibrahim menyuguhkan kepada mereka anak sapi yang dipanggang, maka Jibril mengusapnya dengan sayapnya. Lalu anak sapi itu hidup kembali dan bangkit menyusul induknya yang saat itu induk sapi berada tidak jauh dari rumah Nabi Ibrahim.
Firman Allah Swt. yang menceritakan keadaan para malaikat itu:
قَالُوا لَا تَخَفْ

Malaikat itu berkata, "Jangan kamu takut!" (Hud: 70)
Yakni mereka berkata bahwa janganlah kamu takut kepada kami, sesungguhnya kami adalah para malaikat yang diutus kepada kaum Nabi Lut untuk membinasakan mereka. Maka Sarah tersenyum mendengar berita gembira akan dibinasakannya mereka, sebab mereka banyak -menimbulkan kerusakan, dan kekufuran serta keingkaran mereka sudah terlalu berat. Karena itulah Sarah diberi pembalasan berita gembira, yaitu dengan kelahiran seorang putra, padahal sudah lama Sarah putus asa dari mempunyai anak.
Qatadah mengatakan bahwa Sarah tersenyum dan merasa heran bila suatu kaum kedatangan azab", sedangkan mereka dalam keadaan lalai.
Firman Allah Swt.:
{وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ}

dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan fadahikat ialah f‎ahadat yang artinya 'maka berhaidlah Sarah seketika itu juga'.
Menurut Muhammad ibnu Qais, sesungguhnya Sarah tertawa karena dia menduga bahwa tamu-tamunya itu akan melakukan hal yang sama dengan apa yang biasa dilakukan oleh kaum Lut.
Al-Kalbi mengatakan, sesungguhnya Sarah tertawa hanyalah karena ketika ia melihat Nabi Ibrahim dicekam oleh rasa takut karena usianya yang sudah lanjut dan keadaannya yang lemah.
Sekalipun Ibnu Jarir telah meriwayatkan kedua pendapat di atas berikut sanadnya yang sampai pada keduanya, tetapi pendapat tersebut tidak usah diperhatikan.
Dan mengenai pendapat Wahb ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa sesungguhnya Sarah tertawa setelah mendapat berita gembira akan kelahiran Ishaq, hal ini jelas bertentangan dengan konteks ayat. Karena sesungguhnya berita gembira itu jelas terjadi setelah Sarah tertawa.
{فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ}

maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira akan (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub. (Hud: 71)
Yakni akan kelahiran putra, kelak putranya itu akan melahirkan anak pula yang merupakan cucu dan generasi pelanjutnya. Karena sesungguhnya Ya'qub adalah anak Ishaq, seperti yang disebutkan di dalam ayat surat Al-Baqarah:

{أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ}

Adakah kalian hadir ketika Ya'qub kedatangan(tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, "Apa yang kalian sembah sepeninggalku?*' Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu)Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 133)
Berdasarkan ayat inilah orang yang berpendapat bahwa anak yang disembelih itu sesungguhnya adalah Nabi Ismail. Mustahil bila yang dimaksudkan adalah Ishaq, mengingat kelahirannya adalah berdasarkan berita gembira yang antara lain menyebutkan bahwa kelak Ishaq akan mempunyai anak pula, yaitu Ya'qub. Maka mana mungkin Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelihnya, sedangkan ia masih bayi dan berita yang menjanjikan akan kelahiran anaknya—yaitu Ya'qub— masih belum terpenuhi. Janji Allah adalah benar dan tidak akan diingkari. Dengan demikian, mustahillah bila Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ishaq dalam keadaan seperti itu (yakni masih kecil dan belum mempunyai anak). Maka dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan putra yang disembelih adalah Ismail.
Alasan tersebut merupakan dalil yang paling baik, paling sahih serta paling jelas.
قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَذَا بَعْلِي شَيْخًا

Istrinya berkata, "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak, padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula?” (Hud: 72), hingga akhir ayat.
Ayat ini menceritakan tentang ucapan istri Nabi Ibrahim, perihalnya sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ}

Istrinya berkata, 'Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua?” (Hud: 72)
Dan Firman-Nya di dalam surat Adz-Dzariyat ayat 29:
{فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ}

Kemudian istrinya datang seraya memekik (tercengang), lalu menepuk mukanya sendiri dan berkata, "(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul.”
Perihalnya sama dengan wanita lainnya bila merasa terkejut, baik dalam ucapan maupun sikapnya.
{قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ}

Para malaikat itu berkata, "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?” (Hud: 73)
Para malaikat itu berkata kepada istri Nabi Ibrahim, "Janganlah kamu merasa heran tentang kekuasaan Allah, karena sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu tinggal mengatakan kepadanya, 'Jadilah.' Maka jadilah ia. Karena itu, janganlah kamu merasa heran dengan hal ini, sekalipun kamu sudah lanjut usia serta mandul dan suamimu pun sudah lanjut usia. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
{رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ}

(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kalian, hai ahli bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah (Hud: 73)
Dia Maha Terpuji dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya, lagi Maha Terpuji dalam semua sifat dan zat-Nya. Di dalam sebuah hadis yang tertera dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa mereka (para sahabat) bertanya, "Sesungguhnya kami telah mengetahui cara mengucapkan salam penghormatan kepadamu, maka bagaimanakah cara mengucapkan salawat untukmu, hai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab:

اللَّهُمَّ صِلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [إِبْرَاهِيمَ وَ] آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ"

Katakanlah, "Ya Allah, limpahkanlah salawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpah­kan salawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.
Firman-Nya
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الأيْدِي وَالأبْصَارِ (45) إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ (46) وَإِنَّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ (47) وَاذْكُرْ إِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَذَا الْكِفْلِ وَكُلٌّ مِنَ الأخْيَارِ (48) هَذَا ذِكْرٌ

Dan ingatlah hamba-hamba Kami; Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka)akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan(manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa', dan Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik. Ini adalah kehormatan (bagi mereka). (QS Shod Ayat 45-48)‎
Allah Swt. berfirman, menceritakan tentang keutamaan-keutamaan hamba-hamba-Nya yang menjadi rasul dan para nabi yang ahli ibadah:
{وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الأيْدِي وَالأبْصَارِ}

Dan ingatlah hamba- hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. (Shad: 45)
Yakni amal saleh, ilmu yang bermanfaat, serta kekuatan dalam mengerjakan ibadah, juga mempunyai pandangan yang tajam.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya:orang-orang yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar (Shad:45) Maksudnya, yang mempunyai kekuatan hingga mampu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang besar. dan ilmu-ilmu yang tinggi. (Shad: 45) Yaitu pengetahuan tentang agama.
Mujahid mengatakan ulil aidi artinya kekuatan dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah, dan ulil absar artinya memiliki kesabaran dalam kebenaran.
As-Saddi mengatakan bahwa mereka diberi kekuatan dalam ibadah dan pandangan yang terang dalam agama.
Firman Allah Swt.:
{إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ}

Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka)akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan(manusia) kepada negeri akhirat. (Shad: 46)
Mujahid mengatakan bahwa Kami jadikan mereka beramal untuk akhirat mereka tiada yang lain. Hal yang sama telah dikatakan oleh As-Saddi, yaitu mereka selalu ingat akan negeri akhirat dan selalu beramal untuk menyambutnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh-Ata Al-Khurrasani.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah negeri surga. Allah Swt. berfirman, "Kami menganugerahkan kepada mereka surga karena mereka selalu mengingatnya." Tetapi di dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa zikrad dar ialah tempat kesudahan yang baik.
Qatadah mengatakan, mereka selalu memperingatkan manusia kepada negeri akhirat dan menganjurkan kepada mereka untuk beramal buat bekali negeri akhirat.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa dijadikan khusus bagi mereka suatu balasan yang paling utama di negeri akhirat.
Firman Allah Swt.:
{وَإِنَّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ}

Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. (Shad: 47)
Yakni benar-benar termasuk orang-orang yang terpilih lagi terdekat, maka mereka adalah orang-orang pilihan yang terpilih.
Firman Allah Swt.:
{وَاذْكُرْ إِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَذَا الْكِفْلِ وَكُلٌّ مِنَ الأخْيَارِ}

Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa, dan Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.(Shad: 48)
Mengenai pembahasan dan kisah tentang mereka telah disebutkan secara rinci di dalam tafsir surah Al-Anbiya, sehingga tidak perlu lagi diulangi di sini.
Firman Allah Swt.:
{هَذَا ذِكْرٌ}

Ini adalah kehormatan (bagi mereka). (Shad: 49)
Artinya, bagian ini merupakan peringatan bagi orang yang mau mengambil pelajaran darinya.
Menurut As-Saddi, yang dimaksud dengan ini ialah Al-Qur'an.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji Nabi Ishaq dalam sabdanya,
الكَرِيمُ، ابْنُ الكَرِيمِ، ابْنِ الكَرِيمِ، ابْنِ الكَرِيمِ يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ

“Yang mulia putera yang mulia, putera yang mulia dan putera yang mulia adalah Yusuf putera Ya’qub, putera Ishaq, putera Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ahli Kitab menyebutkan, bahwa Ishaq ketika menikahi Rafqah binti Batu’il saat ayahnya (Nabi Ibrahim) masih hidup, saat itu usianya 40 tahun. Istrinya adalah seorang yang mandul, maka Nabi Ishaq berdoa kepada Allah untuknya, hingga istrinya pun hamil dan melahirkan anak yang kembar; yang pertama bernama ‘Iishuu. Orang-orang Arab menyebutnyta ‘Iish; ia adalah nenek moyang bangsa Romawi. Yang kedua bernama Ya’qub. Disebut Ya’qub karena ia lahir dalam keadaan memegang tumit saudaranya. Ia juga disebut Israil, yang merupakan nenek moyang Bani Israil.
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai nabi dan rasul, maka Nabi Ishaq ‘alaihissalam wafat.‎

Selasa, 28 Juni 2016

Kisah Nabi Dzulkifli

Beliau adalah salah satu nabi dalam ajaran Islam yang diutus kepada kaum Amoria di Damaskus. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1460 SM dan diutus untuk mengajarkan tauhid ke‎pada kaumnya yang menyembah berhala supaya menyembah Tuhan Yang Maha Esa, taat beribadah, dan membayar zakat. Ia memiliki 2 orang anak dan meninggal ketika berusia 95 tahun di Damaskus Syiria. Namanya disebutkan sebanyak 2 kali di dalam Al-Quran.
Nama Zulkifli ia dapat ketika pada suatu hari, Raja mengumpulkan rakyatnya dan bertanya, "Siapakah yang sanggup berlaku sabar, jika siang berpuasa dan jika malam beribadah?"
Tak ada seorang pun yang berani menyatakan kesanggupannya. Menurut mufassirin, akhirnya seorang anak muda yang bernama asli Basyar mengacungkan tangan dan berkata ia sanggup melakukan itu. Sejak saat itulah ia dipanggil dengan julukan Zulkifli yang artinya 'Sanggup'.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman 
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِنَ الصَّابِرِينَ (85) وَأَدْخَلْنَاهُمْ فِي رَحْمَتِنَا إِنَّهُمْ مِنَ الصَّالِحِينَ (86) 
Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka ke dalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang saleh. (QS Al-Anbiya Ayat 85-86)
Yang dimaksud dengan Ismail ialah putra Nabi Ibrahim a.s. kekasih Allah. Kisahnya telah disebutkan di dalam tafsir surat Maryam, begitu pula Idris a.s. Adapun Zulkifli, menurut makna lahiriah konteks ayat menunjukkan bahwa tidak sekali-kali ia disebutkan bersama para nabi, melainkan ia adalah seorang nabi. Pendapat yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya dia hanyalah seorang lelaki saleh, seorang raja yang adil, bijaksana lagi jujur. Ibnu Jarir tidak memberikan tanggapan apa pun sehubungan dengan hal ini, hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan Zulkifli ini, bahwa Zulkifli adalah seorang lelaki saleh, bukan seorang nabi. Ia memberikan jaminan kepada anak-anak kaumnya, -bahwa ia sanggup menangani urusan kaumnya, mengatur mereka, serta memutuskan di antara sesama mereka dengan adil dan bijaksana. Ia melakukannya dengan baik, akhirnya ia diberi julukan Zulkifli. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Najih, dari Mujahid.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Mujahid yang mengatakan bahwa setelah Alyasa' berusia lanjut, ia berkata, "Sekiranya aku mengangkat seorang lelaki sebagai penggantiku untuk mengatur orang-orang, dia mau bekerja untuk mereka selama hidupku, aku akan melihat apa yang bakal dilakukannya." Alyasa' mengumpulkan orang-orang, lalu berkata, "Siapakah di antara kalian yang sanggup menerima tiga persyaratan dariku, maka aku akan mengangkatnya sebagai penggantiku. Yaitu dia harus puasa di siang harinya, berdiri (salat) di malam harinya, dan tidak boleh marah."
Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa lalu berdirilah seorang lelaki yang hina dipandang mata, dan ia berkata, "Saya sanggup." Alyasa' berkata, "Apakah kamu mampu puasa di siang hari, berdiri di malam hari, dan tidak boleh marah?" Si lelaki itu menjawab, "Ya." Akan tetapi Alyasa' menolaknya pada hari itu. Pada hari yang kedua Alyasa mengucap­kan kata-kata yang sama, tetapi tiada seorang pun yang menjawabnya. Kemudian lelaki itu berdiri seraya berkata, "Saya sanggup." Akhirnya Alyasa mengangkatnya sebagai penggantinya.
Iblis berkata kepada setan-setan, "Kalian harus menggoda si Fulan." Tetapi setan-setan itu tidak mampu menggodanya. Akhirnya iblis berkata kepada setan-setan, "Biarkanlah, dia adalah bagianku."
Iblis mendatanginya dalam rupa seorang yang berusia lanjut lagi miskin di saat lelaki itu merebahkan dirinya di tempat peraduannya di tengah hari untuk istirahat sebentar, karena selamanya ia tidak pernah tidur di malam hari —juga di siang harinya— kecuali hanya saat itu saja. Iblis mengetuk pintu rumahnya, maka ia bertanya, "Siapakah Anda?" Iblis menjawab, "Saya orang lanjut usia yang teraniaya."
Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa lelaki itu bangkit dan membuka pintu rumahnya, lalu orang tua itu menceritakan perihalnya kepada dia seraya mengadu.” Sesungguhnya antara diriku dan kaumku ada suatu persengketaab. Mereka menganiaya diriku dan melakukan anu dan anu terhadap diriku." Si iblis yang berupa orang tua itu memperpanjang pembicaraannya hingga hari senja dan waktu istirahat tidur siang hari sudah habis.
Lelaki itu berkata, "Jika aku berada di majelisku, datanglah kamu, maka aku akan membelamu agar kamu dapat mengambil hakmu." Lelaki itu berangkat menuju ke tempat peradilan di hari itu juga. Setelah sampai, ia duduk dan menunggu si orang tua tersebut. Tetapi ternyata dia tidak melihatnya, maka ia membuka persidangannya (untuk orang lain).
Pada keesokan harinya lelaki itu memutuskan peradilan di antara orang-orang seraya menunggu si orang tua itu, tetapi ternyata ia tidak melihatnya. Ia kembali ke rumahnya untuk istirahat di siang hari. Saat ia mulai merebahkan diri di peraduannya, tiba-tiba orang tua itu datang mengetuk pintu rumahnya. Ia bertanya, "Siapakah Anda?" Orang yang mengetuk pintu menjawab, "Saya orang tua yang teraniaya." Ia membuka pintu rumahnya dan berkata kepada si orang tua renta itu, "Bukankah telah kukatakan kepadamu, datanglah kamu ke majelis peradilanku." Si orang tua berkata, "Sesungguhnya mereka adalah kaum yang paling jahat. Jika mereka mengetahui bahwa kamu siap menegakkan keadilan untukku tentu mereka akan mengatakan, 'Kami akan memberikan kepadamu hakmu.' Tetapi bila engkau pergi, mereka akan mengingkarinya."
Ia berkata, "Pergilah kamu. Jika aku telah berada di majelis peradilanku, datanglah kamu." Saat tidur siang telah berlalu, akhirnya ia pergi ke majelis peradilan dan menunggu kedatangan si orang tua renta itu, tetapi ternyata ia tidak juga melihatnya.
Rasa kantuk telah menyerangnya dengan hebat, maka ia berkata kepada sebagian keluarganya, "Janganlah kamu biarkan seorang pun mendekati pintu ini. Aku akan tidur, karena sesungguhnya aku sangat mengantuk."
Tepat di saat itu si orang tua datang. Maka penjaga pintu berkata kepadanya, "Menjauhlah kamu, menjauhlah kamu!" Orang tua itu berkata, "Sesungguhnya aku telah datang kepadanya kemarin, dan telah kuceritakan kepadanya perihal urusanku." Penjaga pintu berkata, "Tidak, demi Allah, dia telah memerintahkan kepada kami agar tidak membiarkan seorang pun mendekati pintu rumahnya."
Setelah si iblis yang berupa orang tua itu kelelahan membujuk penjaga pintu, tetapi tidak berhasil juga, akhirnya ia melihat adanya celah pada pintu itu. Maka si iblis menyelinap ke dalam celah kecil itu. Tiba-tiba ia telah berada di dalam rumah, dan tiba-tiba mengetuk pintu dari dalam rumah.
Lelaki itu terbangun, lalu berkata (kepada penjaga pintunya), "Hai Fulan, bukankah aku telah perintahkan kepadamu (agar jangan ada orang yang mengetuk pintuku)?" Si penjaga pintu menjawab, "Kalau dari pihakku, demi Allah, telah kulakukan pencegahan, sekarang coba lihat darimana dia datang?" Lelaki itu bangkit menuju ke pintu, dan ternyata ia menjumpainya dalam keadaan terkunci sebagaimana ia telah menguncinya, tetapi anehnya si orang tua itu berada di dalam rumah bersamanya. Ia mengerti, lalu berkata, "Hai musuh Allah!" Si orang tua menjawab, "Ya, engkau telah membuatku kelelahan, segala upaya untuk menggodamu agar marah telah kulakukan, tetapi ternyata tidak membawa hasil apa-apa." Maka sejak saat itu laki-laki tersebut dijuluki Zulkifli. Julukan ini diberikan karena ia menanggung suatu tugas dan ternyata dia dapat menunaikannya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Zuhair ibnu Ishaq, dari Daud, dari Mujahid dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Iyasy, dari Al-A'masy, dari Muslim yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas mengatakan bahwa seorang kadi di kalangan umat Bani Israil menjelang ajalnya, lalu ia berkata, "Siapakah yang akan menggantikan kedudukanku, tetapi dengan syarat janganlah ia marah?" Lalu ada seorang lelaki berkata, "Saya sanggup." Maka ia diberi julukan Zulkifli. Sejak saat itu sepanjang malam ia mengerjakan salat, pagi harinya puasa, lalu menjalankan peradilan di antara orang-orang. Ia hanya tidur sebentar di saat istirahat tengah hari.
Setelah hal itu berlangsung beberapa lama, tiba-tiba setan datang kepadanya di saat ia sedang istirahat di tengah hari. Lalu teman-teman lelaki itu berkata kepadanya, "Mengapa kamu?" Si setan menjawab, "Saya membawa seorang yang miskin, dia mempunyai hak atas seorang lelaki, tetapi orang lelaki itu dapat mengalahkan diriku; aku tidak dapat membelanya."
Para penjaga menjawab, "Tunggulah di tempatmu sehingga Zulkifli bangun dari tidurnya." Saat itu Zulkifli sedang tidur di kamar atas. Maka setan itu sengaja mengeluarkan suara jeritan agar Zulkifli terbangun dari tidurnya. Zulkifli terbangun mendengar suara jeritan itu, lalu bertanya, "Mengapa kamu?" Si setan menjawab, "Saya membawa orang yang miskin, dia mempunyai hak atas seorang lelaki." Zulkifli berkata, "Pergilah kamu kepada si lelaki itu dan katakanlah kepadanya bahwa kamu disuruh oleh aku agar dia memberikan hak si miskin itu!" Si setan menjawab, "Dia menolak." Zulkifli berkata, "Pergilah kamu kepada si lelaki itu dan katakanlah kepadanya agar dia memberikan hak si miskin ini."
Maka setan itu pergi, lalu pada keesokan harinya ia melapor, "Saya telah pergi kepadanya, tetapi dia tidak mau mendengarkan perkataanmu." Zulkifli berkata, "Pergilah kamu kepadanya, dan katakanlah agar dia memberikan kepadamu hak si miskin ini." Si setan pergi dan datang lagi pada keesokan harinya di waktu istirahat siang hari. Teman-teman Zulkifli berkata kepadanya, "Pergilah kamu, semoga Allah mengutukmu. Kamu datang setiap hari ke sini di saat dia sedang tidur, kamu tidak membiarkannya istirahat."
Setan menjerit seraya mengatakan, "Saya dilarang masuk karena saya orang miskin. Sekiranya saya orang kaya, (tentu saya boleh masuk)." Zulkifli mendengar suara jeritan itu, lalu bertanya, "Mengapa lagi kamu?" Setan menjawab, "Saya telah pergi kepadanya, tetapi dia memukul saya." Zulkifli berkata, "Pergilah kamu, saya akan menemanimu." Zulkifli mengatakan demikian seraya memegang tangan orang miskin tersebut. Ketika si setan melihat bahwa Zulkifli benar-benar pergi bersama si miskin itu, ia melepaskan tangannya dari tangan si miskin, lalu kabur.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdullah ibnul Haris, Muhammad ibnu Qais, dan Abu Hujairah Al-Akbar serta lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf; alur kisahnya mirip dengan kisah ini. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Kinanah ibnul Akhnasy yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Asy'ari menceritakan kisah berikut di atas mimbar, yaitu: "Zulkifli bukanlah seorang nabi. Dahulu di kalangan kaum Bani Israil terdapat seorang lelaki saleh yang setiap harinya mengerjakan salat sebanyak seratus kali. Lalu Zulkifli menggantikan kedudukannya sesudah orang saleh itu meninggal dunia, sehingga Zulkifli mengerjakan salat sebanyak seratus kali setiap harinya, karena itulah ia diberi nama julukan Zulkifli."
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa Abu Musa Al-Asy'ari pernah menceritakan kisah ini. Predikat riwayat ini munqati, hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.
Imam Ahmad telah meriwayatkan sebuah hadis yang berpredikat garib, bahwa telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Abdullah, dari Sa'd maula Talhah, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar sebuah kisah dari Rasulullah Saw. bukan hanya satu dua kali. Ibnu Umar menghitung sampai tujuh kali, akan tetapi lebih dari itu. Beliau Saw. bercerita seperti berikut:‎

"كَانَ الْكِفْلُ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ، لَا يَتَوَرَّعُ مِنْ ذَنْبٍ عَمِلَهُ، فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَأَعْطَاهَا سِتِّينَ دِينَارًا، عَلَى أَنْ يَطَأها، فَلَمَّا قَعَدَ مِنْهَا مَقعدَ الرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ، أرعِدَت وَبَكَتْ، فَقَالَ: مَا يُبْكِيكَ؟ أكْرَهْتُك؟ قَالَتْ: لَا وَلَكِنَّ هَذَا عَمَلٌ لَمْ أَعْمَلْهُ قَطُّ، وَإِنَّمَا حَمَلني عَلَيْهِ الْحَاجَةُ. قَالَ: فَتَفْعَلِينَ هَذَا وَلَمْ تَفْعَلِيهِ قَطُّ؟ فَنزل فَقَالَ: اذْهَبِي فَالدَّنَانِيرُ لَكِ. ثُمَّ قَالَ: "وَاللَّهِ لَا يَعصي اللَّهَ الْكِفْلُ أَبَدًا. فَمَاتَ مِنْ لَيْلَتِهِ فَأَصْبَحَ مَكْتُوبًا عَلَى بَابِهِ: قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لِلْكِفْلِ"
Dahulu seorang Al-Kiflu (tetua) di kalangan kaum Bani Israil tidak segan-segan, mengerjakan perbuatan dosa apa pun. Maka ia kedatangan seorang wanita, lalu ia memberi wanita itu uang sejumlah enam puluh dinar, tetapi dengan syarat hendaknya si wanita mau tidur dengannya. Setelah Al-Kiflu menaiki wanita itu sebagaimana seorang lelaki menaiki istrinya, tiba-tiba tubuh si wanita itu bergetar dan menangis. Maka Al-Kiflu bertanya, "Mengapa kamu menangis, apakah kamu tidak senang?” Si wanita menjawab, "Tidak, tetapi saya belum pernah melakukan perbuatan ini, dan sesungguhnya yang mendorongku berbuat demikian hanyalah terdesak keperluan.” Al-Kiflu berkata, "Kamu mau melakukan ini, padahal kamu sebelumnya tidak pernah melakukannya sama sekali.” Al-Kiflu turun, lalu berkata, "Pulanglah kamu, dan uang dinar itu buatmu.” Al-Kiflu berkata, "Demi Allah, sejak sekarang Al-Kiflu tidak akan lagi berbuat durhaka kepada Allah selama-lamanya.” Dan pada malam harinya Al-Kiflu meninggal dunia, kemudian pada keesokan harinya tertulis di pintu rumahnya kalimat, "Allah telah mengampuni Al-Kiflu.”
Demikianlah bunyi teks hadis yang menceritakan kisah Al-Kiflu tanpa ada tambahan sedikit pun. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya. Hadis ini tiada seorang pun dari penulis kitabSittah yang mengetengahkannya, sanad hadis berpredikat garib. Kalau meneliti teks hadis, hanya disebutkan Al-Kiflu, bukan Zulkifli. Barangkali yang dimaksud adalah orang lain, bukan Zulkifli ini; hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.‎