"Aad" adalah nama bapa suatu suku yang hidup di jazirah Arab di suatu
tempat bernama "Al-Ahqaf" terletak di utara Hadramaut antara Yaman dan
Umman dan termasuk suku yang tertua sesudah kaum Nabi Nuh serta terkenal
dengan kekuatan jasmani dalam bentuk tubuh-tubuh yang besar dan sasa.
Mereka dikurniai oleh Allah s.w.t. tanah yang subur dengan sumber-sumber
airnya yang mengalir dari segala penjuru sehinggakan memudahkan mereka
bercucuk tanam untuk bahan makanan mereka dan memperindah tempat tinggal
mereka dengan kebun-kebun bunga yang indah-indah. Berkat kurnia Allah
s.w.t. itu mereka hidup menjadi makmur, sejahtera dan bahagia serta
dalam waktu yang singkat mereka berkembang biak dan menjadi suku yang
terbesar diantara suku-suku yang hidup di sekelilingnya.
Sebagaimana dengan kaum Nabi Nuh kaum Hud ialah suku Aad ini adalah
penghidupan rohaninya tidak mengenal Allah Yang Maha Kuasa Pencipta alam
semesta. Mereka membuat patung-patung yang diberi nama " Shamud" dan "
Alhattar" dan itu yang disembah sebagai tuhan mereka yang menurut
kepercayaan mereka dapat memberi kebahagiaan, kebaikan dan keuntungan
serta dapat menolak kejahatan, kerugian dan segala musibah. Ajaran dan
agama Nabi Idris dan Nabi Nuh sudah tidak berbekas dalam hati, jiwa
serta cara hidup mereka sehari-hari. Kenikmatan hidup yang mereka sedang
tenggelam di dalamnya berkat tanah yang subur dan menghasilkan yang
melimpah ruah menurut anggapan mereka adalah kurniaan dan pemberian
kedua berhala mereka yang mereka sembah. Kerananya mereka tidak
putus-putus sujud kepada kedua berhala itu mensyukurinya sambil memohon
perlindungannya dari segala bahaya dan mushibah berupa penyakit atau
kekeringan.
Sebagai akibat dan buah dari aqidah yang sesat itu pergaulan hidup
mereka menjadi dikuasai oleh tuntutan dan pimpinan Iblis laknatullah, di
mana nilai-nilai moral dan akhlak tidak menjadi dasar penimbangan atau
kelakuan dan tindak-tanduk seseorang tetapi kebendaan dan kekuatan
lahiriahlah yang menonjol sehingga timbul kerusuhan dan tindakan
sewenang-wenang di dalam masyarakat di mana yang kuat menindas yang
lemah yang besar memperkosa yang kecil dan yang berkuasa memeras yang di
bawahnya. Sifat-sifat sombong, congkak, iri-hati, dengki, hasut dan
benci-membenci yang didorong oleh hawa nafsu merajalela dan menguasai
penghidupan mereka sehingga tidak memberi tempat kepada sifat-sifat
belas kasihan, sayang menyayang, jujur, amanat dan rendah hati.
Demikianlah gambaran masyarakat suku Aad tatkala Allah s.w.t.
mengutuskan Nabi Hud sebagai nabi dan rasul kepada mereka.
Beliau bernama Hud bin Syalakh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh
‘Alaihimussalam. Dikatakan juga bahwa beliau adalah Abir bin Syalakh bin
Arfakhsyad bin Sam bin Nuh. Atau ada juga yang menyebut beliau dengan
Hud bin ‘Abdullah bin Rabbah bin Al-Jarud bin ‘Aad bin Aus bin Irm bin
Sam bin Nuh. Demikianlah yang disebutkan oleh Ibnu Jarir. [Tarikh
Ath-Thabari 1/133].
Kaum ‘Aad merupakan bangsa Arab yang menempati Al-Ahqaf yaitu
bukit-bukit pasir. Tempat itu terletak di Yaman dari Amman dan
Hadhramaut di sebuah tempat yang dekat dengan laut, disebut juga
Asy-Syahr. Nama lembahnya adalah Mughits, kaum ‘Aad lebih banyak tinggal
di perkemahan yang memiliki pasak tiang-tiang yang besar dan tinggi
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad? (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. [QS Al-Fajr : 6-7]
Maksudnya adalah kaum ‘Aad Iram. Kaum ini adalah kaum ‘Aad yang pertama,
sedangkan kaum ‘Aad yang kedua maka mereka adalah yang terakhir. Kaum
‘Aad hidup berkelompok-kelompok seperti qabilah dan mereka mempunyai
keahlian membangun bangunan yang tinggi-tinggi seperti baru saja
disebutkan dalam firman Allah Ta’ala. Sebagian ulama dan ahli sejarah
mengatakan Nabi Hud ‘Alaihissalam adalah orang pertama yang berbicara
dengan bahasa Arab. Wahb bin Munabbih menyebutkan bahwa ayahnya Nabi Hud
yang pertama kali berbicara dengan bahasa Arab. Sebagian mereka berkata
bahwa Nuh-lah yang pertama kali berbicara dengan bahasa Arab, sementara
yang lainnya berkata bahwa ia adalah Adam. Allahu a’lam.
Diriwayatkan bahwa bangsa Arab sebelum Isma’il adalah bangsa Arab
Aribah, mereka merupakan suatu kabilah yang banyak, diantara mereka
adalah ‘Aad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis, Umaim, Madyan, Imlaq, Abil,
Jasim, Qaththan dan lainnya. Dalam Shahih Ibnu Hibban, diriwayatkan dari
sahabat Abu Dzar -radhiyallahu ‘anhu- dalam sebuah hadits yang panjang
setelah menyebutkan kisah para Nabi dan Rasul, Rasulullah bersabda,
“…Dari mereka terdapat 4 orang Arab yaitu Hud, Shalih, Syu’aib dan
Nabimu wahai Abu Dzar.” [Shahih Ibnu Hibban (361)].
Nabi Hud ‘Alaihissalam Diutus Allah kepada Kaum ‘Aad
Kaum ‘Aad adalah kaum yang durhaka kepada Allah Ta’ala dengan menjadi
kaum yang pertama kali menyembah berhala setelah peristiwa banjir besar
dan luluh lantaknya umat manusia yang kafir. Berhala mereka ada tiga
yaitu Shad, Shamuda, Hara. Oleh karena itu, Allah Ta’ala utus saudara
mereka, Hud ‘Alaihissalam untuk mengembalikan mereka kepada aqidah
tauhid yang bersih dari syirik. Allah Ta’ala berfirman :
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” [QS Al-A’raaf : 65].
Mereka adalah bangsa Arab yang keras tabiat, kafir, angkuh dan menyembah
berhala. Kemudian Nabi Hud menyeru mereka untuk kembali ke jalan Allah
Azza wa Jalla, mengesakanNya dengan melaksanakan ibadah secara ikhlas
kepadaNya, namun mereka mendustakan beliau, menentangnya dan
mengejeknya. Allah Ta’ala berfirman :
قَالَ الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي سَفَاهَةٍ وَإِنَّا لَنَظُنُّكَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta”. [QS Al-A’raaf : 66].
Maksudnya adalah perkara yang beliau serukan kepada kaumnya untuk
diikuti adalah sebuah kedustaan terhadap kegiatan penyembahan berhala
yang telah berlangsung ini yang mana kaum yang durhaka tersebut
mengharapkan kemenangan, rizki hanya dari berhala-berhala tersebut.
Nabi Hud berkata, seperti difirmankan Allah Ta’ala :
قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ
الْعَالَمِينَ أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاتِ رَبِّي وَأَنَا لَكُمْ نَاصِحٌ
أَمِينٌ
Hud berkata: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikit pun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanah Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu”. [QS Al-A’raaf : 67-68].
Maksudnya adalah perkara ini bukan kedustaan seperti yang dikira kaumnya
beliau. Nabi Hud telah berusaha menyampaikan dengan bahasa yang lugas,
fasih dan sederhana. Ini merupakan berkah dan nasehat bagi kaumnya dan
kasih sayang beliau kepada mereka serta beliau sangat ingin kaumnya
menuju jalan hidayah. Beliau tidak pernah meminta upah atau balasan
tetapi beliau melaksanakan dakwahnya dengan penuh keikhlasan demi
mencari ridha Allah.
Kaum ‘Aad berkata kepada Nabi Hud :
قَالُوا يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ وَمَا نَحْنُ بِتَارِكِي
آلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ إِنْ نَقُولُ
إِلا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ
وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ مِن دُونِهِ فَكِيدُونِي
جَمِيعًا ثُمَّ لاَ تُنظِرُونِ
“Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Hud menjawab, “Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” [QS Hud : 53-55]
Ini merupakan tantangan balik dari Nabi Hud untuk kaumnya dan pernyataan
bara’ (berlepas diri) dari sesembahan mereka, dan menjelaskan kepada
kaumnya bahwa sesembahan mereka tidak dapat memberikan manfaat dan
mudharat, mereka adalah benda-benda mati yang tak berdaya apa-apa.
Dan Nabi Hud berkata, seperti dalam firman Allah :
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ
إِلا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” [QS Hud : 56]
Ini adalah bukti yang kuat bahwa Nabi Hud adalah hamba dan utusan Allah
yang diutus untuk menyampaikan kalimat haq, namun kaumnya tetap dalam
kebodohan dan kesesatan, mereka tidak mau mengakui Allah sebagai Tuhan
mereka sekeras apapun usaha Nabiyullah Hud ‘Alaihissalam untuk
menyadarkan mereka.
Kaum ‘Aad Meminta Disegerakan Adzab
Akhirnya apa yang terjadi pada kaum Nuh pun berulang pada kaum ‘Aad,
mereka meminta disegerakan adzab karena mereka mendustakan bahwa Nabi
Hud adalah utusan Allah, mereka tidak mempercayai bahwa adzab itu adalah
haq karena mereka tidak beriman kepada Allah. Mereka menyangka Nabi Hud
adalah seorang pendusta padahal sebaliknya, merekalah yang pendusta.
Mereka berkata, seperti difirmankan Allah :
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ
يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ
الصَّادِقِينَ
Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. [QS Al-A’raaf : 70]
Mereka juga berkata :
قَالُوا سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَوَعَظْتَ أَمْ لَمْ تَكُنْ مِنَ الْوَاعِظِينَ
إِنْ هَذَا إِلا خُلُقُ الأوَّلِينَ وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ
Mereka menjawab: “Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasihat atau tidak memberi nasihat, (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu, dan kami sekali-kali tidak akan di “azab”. [QS Asy-Syu’ara : 136-138]
Nabi Hud sedih mendengar perkataan kaumnya yang bodoh. Nabi Hud berdo’a kepada Allah :
قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي بِمَا كَذَّبُونِ قَالَ عَمَّا قَلِيلٍ
لَيُصْبِحُنَّ نَادِمِينَ فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ بِالْحَقِّ
فَجَعَلْنَاهُمْ غُثَاءً فَبُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku.” Allah berfirman: “Dalam sedikit waktu lagi pasti mereka akan menjadi orang-orang yang menyesal.” Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami jadikan mereka (sebagai) sampah banjir maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang lalim itu. [QS Al-Mu’minuun : 39-41]
Ibnu Katsir berkata, Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ketika kaum ‘Aad
meminta disegerakan adzab, Allah Ta’ala memulai dengan menahan hujan
selama 3 tahun, kemudian mereka meminta jalan keluar kepada Allah di
Bait dan Haram mereka yang mana tempat itu terkenal di kalangan penduduk
zaman itu. Di dalamnya terdapat bangsa Amaliq keturunan dari Imlaq bin
Lawadz bin Sam bin Nuh, pemimpin mereka kala itu adalah Mu’awiyyah bin
Bakr, ibunya berasal dari kaum ‘Aad, namanya Jalhadah binti Al-Khaibari.
Kaum ‘Aad mengutus delegasi berjumlah sekitar 70 orang untuk mengambil
air. Kemudian mereka melewati Mu’awiyyah di daerah Makkah, lalu mereka
singgah selama sebulan di tempatnya untuk meminum khamr dan
memberikannya pada Mu’awiyyah.
Setelah selesai mengunjungi Mu’awiyyah, maka mereka segera beranjak ke
Al-Haram dan berdoa untuk kaumnya. Kemudian salah seorang pemuka agama
yang bernama Qail bin Anaz berdo’a untuk mereka. Maka Allah mengirimkan 3
awan yaitu putih, merah, hitam kemudian mereka diseru dari langit,
“Pilihlah untukmu dan kaummu dari awan ini. Qail menjawab, “Aku memilih
yang berwarna hitam.” Qail menyangka bahwa awan hitam adalah awan yang
membawa hujan untuk mereka.
Kemudian Allah mengirimkan awan hitam yang telah dipilih Qail kepada
kaum ‘Aad, hingga awan itu keluar di sebuah lembah yang dinamakan
Al-Mughits. Penduduk kaum ‘Aad melihatnya dan mereka bergembira ria,
mereka berkata, “Inilah hujan untuk kami!”. Allah Ta’ala berfirman :
فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا
عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا
عَذَابٌ أَلِيمٌ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لا
يُرَى إِلا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan)! bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. [QS Al-Ahqaf : 24-25]
Orang pertama dari kaum ‘Aad yang melihat kalau awan itu adalah angin
yang menghancurkan adalah seorang wanita bernama Mahd. Ketika dia
melihatnya, dia pun berteriak dan jatuh pingsan. Ketika siuman, kaumnya
bertanya padanya, “Apa yang kau lihat wahai Mahd?” Dia menjawab, “Aku
melihat awan hitam bagai meteor dari neraka, di depannya ada seorang
lelaki yang menuntunnya!”
Lalu Allah Ta’ala menggerakkan awan hitam tersebut 7 hari berturut-turut
mengepung mereka. Tidak ada seorangpun yang dibiarkan hidup di dalam
desa kaum ‘Aad, sementara Nabiyullah Hud ‘Alaihissalam dan orang-orang
yang telah beriman terlebih dahulu sudah pergi dari kaumnya,
mengasingkan diri dan menghindar dari adzab dan siksa Allah yang pedih.
Kisah serupa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya [no. 15524
dengan sanad hasan] dari hadits Al-Harits bin Yazid Al-Bakri mengenai
seorang wanita tua dari Bani Tamim.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas serta lebih dari satu imam para tabi’in
berkata, Angin tersebut dingin dan sangat kencang. [Jami’ul Bayan
Ath-Thabari 24/102]
Firman Allah Ta’ala :
وَأَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوا بِرِيحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ سَخَّرَهَا
عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى
الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
Adapun kaum Ad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). [QS Al-Haqqah : 6-7].
Allah menyerupakan kaum itu dengan tunggul pohon kurma yang tidak
memiliki kepala karena angin waktu itu mendatangi mereka dan mengangkat
mereka ke atas dengan kencangnya lalu memutar kepala-kepala mereka
hingga putus dan yang tersisa hanya jasad tanpa kepala. Beberapa dari
mereka ada yang mengungsi ke gua-gua dan gunung-gunung karena
rumah-rumah mereka telah hancur. Kemudian Allah mengutus angin Al-Aqim,
yaitu angin panas yang disertai nyala api di belakangnya. Kaum ‘Aad yang
tersisa menyangka angin inilah yang akan menyelamatkan mereka. Padahal
angin ini justru mengumpulkan mereka semua dalam pusaran hawa dingin dan
panas yang sangat membinasakan. Inilah adzab angin terdahsyat dalam
sejarah yang pernah terjadi di muka bumi disertai dengan
teriakan-teriakan yang amat memilukan dari kaum ‘Aad. Inilah adzab yang
mereka meminta-minta untuk disegerakan kedatangannya. Na’udzubillahi min
dzaalik.
Riwayat menyebutkan bahwa Nabi Hud dimakamkan di negeri Yaman, ini dari
riwayat ‘Ali bin Abi Thalib. Riwayat lain menyebutkan kuburannya berada
di Damaskus, di masjidnya terdapat tempat yang banyak dikira orang-orang
bahwa itu merupakan makam Nabi Hud ‘Alahissalam.
Telah selesai pengungkapan terhadap penemuan kota Iram Dzatul ‘Imad
(pemilik tiang-tiang) sekitar tahun 1998 Masehi di daerah Syasher di
padang pasir Zhafar. Dan jarak penemuan itu sekitar 150 Km sebelah utara
kota Shoalalah dan 80 Km dari kota Tsamrit. Telah disebutkan kota Iram
dan penduduknya, kaum ‘Aad di banyak tempat dalam al-Qur’an, sebagaimana
firman Allah,
إرم ذات العماد* التي لم يخلق مثلها في البلاد* الفجر : 8 -7
”(yaitu) Penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain.” QS. Al-Fajr: 7-8)
Dan itu adalah negerinya ‘Aad kaum Nabi Hud ’alaihissalam yang telah
Allah binasakan dengan angin yang sangat dingin dan kencang, dan saya
yakin anda semua mengetahui kisahnya yang disebutkan dalam al-Qur’an.
Dan datang penyebutan kaum ‘Aad dan negerinya, Iram di dua surat dalam
al-Qur’an, salah satunya dengan nama Nabi mereka yaitu Hud’alaihissalam,
dan yang kedua dengan nama tempat tinggal mereka yaitu al-Ahqaaf, dan
di dalam puluhan ayat al-Qur’an yang terdapat dalam 18 surat dalam
al-Qur’an. Dan penyebutan kaum ‘Aad dalam al-Qur’an terhitung sebagai
pemberitaan paling banyak dibandingkan dengan pemberitaan tentang
ummat-ummat yang lain yang dibinasakan , sebagai bentuk keajaiban dalam
al-Qur’an. Hal itu karena kaum ini (‘Aad) telah dibinasakan secara total
dengan angin berpasir yang tidak sewajarnya. Pasir-pasir itu mengubur
dan menutup peninggalan-peninggalan mereka, hingga tersembunyi
(tertutup) semua peninggalan mereka dari muka Bumi.
Dan hal itu menyebabkan sebagian besar arkeolog dan ahli sejarah
mengingkari dan tidak membenarkan adanya kaum ‘Aad pada zaman dahulu,
dan mereka (arkeolog dan ahli sejarah) menganggap penyebutan tentang
mereka (kaum ‘Aad) dalam al-Qur’an sebagai kisah-kisah simbolik (yang
tidak ada kenyataanya) untuk diambil pelajaran dan pengalaman. Bahkan
lebih parah lagi sebagian penulis buku menganggap mereka (kaum ‘Aad)
sebagai dongeng yang tidak ada sama sekali kenyataannya dalam sejarah.
Kemudian munculah penelitian-penelitian arkeolog pada tahum 80-an atau
90-an di abad ke-20 dengan penelitian tentang negeri Iram di padang
pasir ar-Rub’u al-Khali di Zhaafar 150 Km sebelah utara kota Shalabah,
selatan kerajaan Oman. Dan penemuan meraka membuktikan kebenaran
al-Qur’an dalam semua yang diberitakan di dalamnya tentang kaum ‘Aad.
Berangkat dari hal tersebut maka pembahasan hal ini di sini hanya
mencukupkan diri pada penemuan arkeologi di atas dan pada apa yang
dicatat dalam al-Qur’an surat al-Fajr ayat 6-8 semenjak 1400 tahun yang
lalu. Dan seandainya al-Qur’an menunjukkan pada sesuatu, maka hal itu
tidak lain hanyalah menunjukkan hakekat yang sebenarnya bahwa al-Qur’an
adalah benar-benar firman Allah Sang Pencipta. Dialah yang menurunkan
al-Qur’an dengan ilmu-Nya kepada penutup para Nabi dan Rasul (Muhammad)
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau shallallahu ‘alaihi
wasallammenjaganya untuk kita dengan bahasa wahyu yang diwahyukan
kepadanya (bahasa Arab). Maka al-Qur’an tetap terjaga dengan tata bahasa
Rabbani, dengan kebenaran setiap huruf dan kalimatnya dan isyarat di
dalamnya.
Iram Dzatul ‘Imad dalam sejarah Islam
Di dalam tafsir tentang apa yang datang tentang kaum ‘Aad dalam
al-Qur’an, sejumlah ulama ahli tafsir, ahli Geografi, ahli sejarah dan
ahli nasab (silsilah keturunan) muslim seperti ath-Thabari, as-Suyuthi,
al-Qozwaini, al-Hamdani, Yaqut al-Hamawi dan al-Mas’udi bersemangat
untuk mengungkap tentang hakekat mereka. Mereka (para ulama di atas)
menyebutkan bahwa kaum ‘Aad termasuk al-Arab al-Baa’idah (Arab yang
telah musnah). Dan mereka (al-Arab al-Baa’idah) dianggap mencakup banyak
kaum yang telah musnah ratusan tahun sebelum diutusnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, di antara mereka kaum ‘Aad, Tsamud, al-Wabar, dan
selain mereka masih banyak lagi.
Dan mereka (para ulama di atas) mengetahui dari ayat-ayat al-Qur’an
bahwa tempat tinggal kaum ‘Aad adalah di Ah-Qaaf jamak dari kata Haqf
yang berarti pasir yang miring. Dia adalah salah satu daerah bagian dari
ar-Rab’u al-Khali dengan Hadhramaut di sebelah selatannya, ar-Rab’u
al-Khali di selatannya dan dengan Oman di sebelah timurnya, dan dia
sekarang adalah dareh Zhaafar. Dan sebagaimana mereka juga mengetahui
bahwa Nabi mereka adalah Hud’alaihissalam, dan bahwasanya setelah
binasanya orang-orang kafir dari kaumnya, Hud ’alaihissalam tinggal di
bumi Hadhramaut samapai beliau meninggal, dan beliau dikebumikan di
dekat Wadi Barhut arah timur dari kota Tarim.
Adapun tentang kaum Iram pemilik bangunan tinggi itu, maka al-Hamadani
(wafat tahun 334H/946M) dan Yaqut al-Hamawi (wafat tahun 627H/1229M)
menyebutkan bahwa bangunan tinggi mereka yang dahulu adalah hasil
bangunan Syaddad bin ‘Aad dan telah hilang musnah (tertimbun pasir), dan
ia tidak diketahui sekarang, walaupun beredar di cerita-cerita
tentangnya.
Takhtimah
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ
عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نُصِرْتُ بِالصَّبَا
وَأُهْلِكَتْ عَادٌ بِالدَّبُورِ قَالَ وَقَالَ ابْنُ كَثِيرٍ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ أَبِي نُعْمٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذُهَيْبَةٍ فَقَسَمَهَا
بَيْنَ الْأَرْبَعَةِ الْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ الْحَنْظَلِيِّ ثُمَّ
الْمُجَاشِعِيِّ وَعُيَيْنَةَ بْنِ بَدْرٍ الْفَزَارِيِّ وَزَيْدٍ
الطَّائِيِّ ثُمَّ أَحَدِ بَنِي نَبْهَانَ وَعَلْقَمَةَ بْنِ عُلَاثَةَ
الْعَامِرِيِّ ثُمَّ أَحَدِ بَنِي كِلَابٍ فَغَضِبَتْ قُرَيْشٌ
وَالْأَنْصَارُ قَالُوا يُعْطِي صَنَادِيدَ أَهْلِ نَجْدٍ وَيَدَعُنَا
قَالَ إِنَّمَا أَتَأَلَّفُهُمْ فَأَقْبَلَ رَجُلٌ غَائِرُ الْعَيْنَيْنِ
مُشْرِفُ الْوَجْنَتَيْنِ نَاتِئُ الْجَبِينِ كَثُّ اللِّحْيَةِ مَحْلُوقٌ
فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ يَا مُحَمَّدُ فَقَالَ مَنْ يُطِعْ اللَّهَ إِذَا
عَصَيْتُ أَيَأْمَنُنِي اللَّهُ عَلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَلَا تَأْمَنُونِي
فَسَأَلَهُ رَجُلٌ قَتْلَهُ أَحْسِبُهُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ
فَمَنَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى قَالَ إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا أَوْ فِي
عَقِبِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ
يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ
أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
Telah bercerita kepadaku [Muhammad bin 'Ar'arah] telah bercerita kepada kami [Syu'bah] dari [Al Hakam] dari [Mujahid] dari [Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ""Aku ditolong dengan perantaraan angin yang berhembus dari timur (belakang pintu Ka'bah) sedangkan kaum 'Aad dibinasakan dengan angin yang berhembus dari barat". Perawi berkata; Dan Ibnu Katsir berkata dari Sufyan dari bapaknya dari Ibnu Abi Nu'im dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu berkata; 'Ali mengirim perhiasan emas kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu Beliau membagikannya kepada empat orang, yaitu kepada Al Aqra' bin Habis Al Hanzhaliy, yang kemudian sebutannya menjadi Al Mujasyi'iy, 'Uyaynah bin Badr Al Fazariy, Zaid ath-Tha'iy kemudian dia menjadi salah seorang suku Bani Nabhan dan 'Alqamah bin 'Ulatsah yang kemudian menjadi salah seorang suku Bani Kilab. Orang-orang Qurais dan Kaum Anshar menjadi marah. Mereka berkata; "Beliau telah memberi para pahlawan penduduk Nejed dan malah mengabaikan kita". Beliau berkata: "Aku memberi mereka dengan tujuan agar menjinakkan hati mereka" (ke dalam Islam). Lalu datanglah seseorang yang kedua matanya menjorok ke dalam, wajahnya kusut dengan jenggotnya dicukur seraya berkata: "Bertaqwalah kamu kepada Allah, wahai Muhammad". Maka Beliau berkata: "Siapakah yang dapat bertaqwa kepada Allah seandainya aku saja mendurhakai-Nya. Apakah patut Allah memberi kepercayaan kepadaku untuk penduduk bumi sementara kalian tidak mempercayai aku?". Kemudian ada seseorang, aku kira dia adalah Khalid bin Al Walid, yang meminta izin untuk membunuh orang itu namun Beliau melarangnya. Setelah orang itu pergi, Beliau bersabda: "Sesungguhnya dari asal orang ini atau di belakang orang ini (keturunan) akan ada satu kaum yang mereka membaca al-Qur'an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama bagaikan keluarnya anak panah dari busurnya dan mereka membunuh pemeluk Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Seandainya aku bertemu dengan mereka pasti aku akan bunuh mereka sebagaimana kaum "Ad dibantai".
Sanad:
Abdullah bin 'Abbas bin 'Abdul Muthallib bin Hasyim >> Mujahid bin
Jabar >> Al Hakam bin 'Utaibah >> Syu'bah bin Al Hajjaj bin
Al Warad >> Muhammad bin 'Ar'arah bin Al Birindi
Skema: Mutashil, Kedudukan:Marfu'
Penguat:
Bukhari No.3796, Ahmad No.1909, Ahmad No.2827, Ahmad No.3005, Ahmad No.3167, Ahmad No.3359