Nama dan nasabnya adalah ‘Uzair bin Haiwah, dikatakan dia adalah Ibnu
Suuraiq bin ‘Aranaa bin Ayyuub bin Dartsanaa bin ‘Araa bin Taqaa bin
As-Sabuu’ bin Fanhaash bin Al-‘Aazir bin Haaruun bin ‘Imraan. Dikatakan
pula dia adalah ‘Uzair bin Sarwahaa. Demikian disebutkan oleh Al-Haafizh
Abul Qaasim Ibnu ‘Asaakir dalam kitab Taariikh-nya 40/317.
Kuburannya terdapat di Damaskus, demikian yang diceritakan dalam atsar
yang diriwayatkan Al-Haafizh Ibnu ‘Asaakir dengan sanadnya dalam
Taariikh-nya 2/323-325. Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daawud dengan
sanad dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَا أَدْرِي أَتُبَّعٌ لَعِينٌ هُوَ أَمْ لَا وَمَا أَدْرِي أَعُزَيْرٌ نَبِيٌّ هُوَ أَمْ لَا
“Aku tidak mengetahui apakah Tubba’ telah dilaknat ataukah tidak, dan
aku tidak mengetahui apakah ‘Uzair seorang Nabi ataukah bukan.”
[Sunan Abu Daawud no. 4674]
Al-Haafizh Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan dengan sanadnya hingga Ishaaq bin
Bisyr, telah memberitakan Juwaibir dan Muqaatil, dari Adh-Dhahhaak, dari
Ibnu ‘Abbaas radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
كان عزير من أبناء الأنبياء وكان قد أحكم التوراة ولم يكن في زمانه أحد
أعلم بالتوراة منه ولا كان أحفظ لها منه وكان يذكر مع الأنبياء حتى محى
الله اسمه حين سأل ربه عن القدر وكان ممن سباه بخت نصر وهو غلام حدث فلما
بلغ أربعين سنة أعطاه الله الحكمة
“‘Uzair termasuk salah seorang keturunan dari para Nabi. Dia telah
berhukum dengan Taurat dan tidak ada seorangpun di zamannya yang lebih
mengetahui Taurat dan tidak juga lebih hapal Taurat dibanding dirinya.
Ia disebutkan bersama dengan para Nabi hingga Allah menghapus namanya
ketika ia bertanya kepada Rabbnya mengenai Al-Qadr. Dia termasuk mereka
yang ditangkap oleh Bukhtanashar (Nebukadnedzar) dan dia waktu itu masih
kecil. Ketika umurnya mencapai 40 tahun, Allah Ta’ala mengkaruniakannya
Al-Hikmah.”
[Taariikh Dimasyq 40/318]
Al-Haafizh Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan dengan sanadnya hingga Ishaaq bin
Bisyr, telah memberitakan Sa’iid bin Abu ‘Aruubah, dari Qataadah, dari
Al-Hasan, dari ‘Abdullaah bin Sallaam radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata :
أن عزيرا هو العبد الذي أماته الله مائة عام ثم بعثه قال وأنا إسحاق أنا
عثمان بن الساج عن محمد الكلبي عن أبي صالح عن ابن عباس أن عزيرا بن سورخا
هو الذي قال الله تعالى في كتابه ” أو كالذي مر على قرية وهي خاوية على
عروشها قال أنى يحيي هذه الله بعد موتها فأماته الله مائة عام “
“Bahwa ‘Uzair adalah seorang hamba yang Allah mewafatkannya selama 100
tahun kemudian Allah membangkitkannya kembali.” (Ismaa’iil bin ‘Iisaa)
berkata, dan telah memberitakan kepada kami Ishaaq, telah memberitakan
kepada kami ‘Utsmaan bin As-Saaj, dari Muhammad Al-Kalbiy, dari Abu
Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas, “Bahwa ‘Uzair bin Sawarkhaa adalah hamba
yang disebut Allah Ta’ala dalam kitabNya : “Atau apakah (kamu tidak
memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah
roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan
kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu
seratus tahun [QS Al-Baqarah : 259].”
[Taariikh Dimasyq 40/320]
Kisah ‘Uzair
Secara utuh kisah ini akan kami sebutkan dengan mengambil keterangan
dari Al-Haafizh Ibnu Katsiir dalam kitab Taariikh-nya, bahwa semua
sanadnya bersumber dari Ishaaq bin Bisyr, ia berkata, telah memberitakan
kepada kami Sa’iid bin Basyiir, dari Qataadah, dari Ka’b, (dari jalur
sanad yang lain) dan dari Sa’iid bin Abu ‘Aruubah, dari Qataadah, dari
Al-Hasan, (dari jalur sanad yang lain) dan dari Muqaatil dan Juwaibir,
dari Adh-Dhahhaak, dari Ibnu ‘Abbaas, (dari jalur sanad yang lain) dan
dari ‘Abdullaah bin Ismaa’iil As-Suddiy, dari Ayahnya, dari Mujaahid,
dari Ibnu ‘Abbaas, (dari jalur sanad yang lain) dan dari Idriis, dari
Wahb bin Munabbih. Ishaaq bin Bisyr berkata, mereka semua menceritakan
kepadaku mengenai kisah ‘Uzair dan mereka saling menambahkan satu dengan
yang lain.
Mereka berkata dengan sanad masing-masing, sesungguhnya ‘Uzair adalah
seorang hamba yang shalih dan bijaksana. Pada suatu hari ia keluar
menuju sebuah desa kecil demi menunaikan sebuah janji. Ketika ia
berangkat, ia berhenti di sebuah reruntuhan bangunan karena saking
panasnya cuaca hari itu. Ia masuk ke dalamnya bersama dengan keledainya,
lalu ia menurunkan dari keledainya 1 keranjang yang berisi buah tiin
dan anggur, juga mengeluarkan mangkuk yang dibawanya. Ia peras anggur
lalu menuangkannya ke dalam mangkuk kemudian ia mengeluarkan roti kering
yang dibawanya dan ia celupkan ke dalam air perasan anggur didalam
mangkuk, ia pun memakannya.
Setelah itu, ‘Uzair berbaring dan menyandarkan kakinya ke dinding sambil
memandangi atap bangunan dan sekelilingnya, ia pun melihat sekelompok
tulang yang telah rapuh, ‘Uzair bergumam :
أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا
“Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?”[QS Al-Baqarah : 259]
‘Uzair sedikitpun tidak merasa ragu bahwa Allah Ta’ala Maha Kuasa untuk
membangkitkannya kembali dan ia berkata demikian karena perasaan takjub.
Allah Ta’ala mengutus malaikat maut untuk menahan ruh ‘Uzair, maka
Allah Ta’ala mewafatkannya selama 100 tahun. Diantara rentang waktu 100
tahun tersebut banyak sekali peristiwa yang terjadi pada bani Israa’iil.
Beberapa orang mengatakan, ketika Allah Ta’ala mengutus malaikat maut
kepada ‘Uzair, hati ‘Uzair dijadikan oleh Allah tetap dapat menimbang,
matanya melihat, otaknya menimbang dan berpikir bagaimana Allah Ta’ala
menghidupkan yang telah mati, menyusun ciptaanNya dan ‘Uzair pun
memperhatikannya, kemudian Allah Ta’ala membungkus tulang-tulang itu
dengan daging, rambut dan kulit, ditiupkan ruh padanya. Semua kejadian
tersebut dilihat oleh ‘Uzair dan direnungkan dengan keadaan duduk tegak.
Malaikat maut bertanya kepadanya, “Berapa lamakah kau telah tinggal
disini?” ‘Uzair menjawab, “Aku telah tinggal disini selama sehari atau
setengah hari.”
‘Uzair mengira ia mulai tertidur sejak pertengahan siang dan dibangunkan
pada sore hari saat matahari belum terbenam, oleh karena itu ia
berkata, setengah hari dan tidak sampai sehari. Lalu malaikat maut
berkata kepadanya :
بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ
“Sebenarnya kau telah tinggal di sini seratus tahun lamanya, lihatlah kepada makanan dan minumanmu.”[QS Al-Baqarah : 295]
Yaitu, lihatlah kepada roti kering dan air perasan anggur didalam
mangkuk. Makanan dan minumannya tetap seperti semula dan tidak
sedikitpun mengalami perubahan begitu pula buah tiin dan sisa anggur
yang masih utuh, sehingga didalam hati ‘Uzair mengingkari apa yang ia
alami ini. Malaikat maut berkata, “Apakah kau mengingkari apa yang telah
kukatakan? Lihatlah keledaimu!”
Maka ‘Uzair melihat kondisi keledainya yang tulang-tulangnya telah rapuh
dan membusuk. Malaikat pun memanggil tulang-tulang tersebut, dalam
sekejap semua yang berserakan menjadi terkumpul hingga Malaikat
menyusunnya kembali sedangkan ‘Uzair memperhatikannya. Tulang-tulang
itupun dibungkus kembali dengan urat dan otot dan dibalut dengan daging
lalu ditumbuhkan kulit serta rambut, dan Malaikat pun meniupkan ruh
kepadanya hingga keledai dapat berdiri dengan menegakkan kepalanya ke
langit dan ia meringkik karena ia menyangka telah terjadi kiamat. Allah
Ta’ala telah berfirman :
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا
“Dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami
menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”[QS
Al-Baqarah : 259]
Lalu ‘Uzair menunggangi keledainya hingga ia kembali ke desa asalnya.
Orang-orang pun tidak mengenalinya dan sebaliknya, ia tidak mengenali
mereka berikut tempat tinggal mereka. ‘Uzair berjalan dengan harap cemas
hingga ia tiba di rumahnya. ‘Uzair mendapati seorang wanita tua dan
buta kedua matanya, sedang duduk, umurnya ia perkirakan mencapai 120
tahun karena ketika ‘Uzair berangkat dari desanya, umur wanita itu masih
20 tahun sedangkan wanita itu dahulu mengenalnya.
‘Uzair bertanya, “Wahai nenek, apakah ini rumah milik ‘Uzair?” Wanita
tua menangis dan berkata, “Selama ini aku tidak mengetahui ada yang
bertanya mengenai ‘Uzair, sungguh ia dilupakan manusia.”
‘Uzair berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah ‘Uzair. Allah mewafatkanku
selama 100 tahun lamanya, kemudian Dia membangkitkanku kembali.” Wanita
tua berkata, “Subhanallah! Sesungguhnya ‘Uzair telah menghilang dari
kami selama 100 tahun dan kami sekalipun tidak pernah mendengar
khabarnya.”
‘Uzair berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah ‘Uzair.”
Wanita tua berkata, “Sesungguhnya ‘Uzair adalah seorang yang do’anya
selalu diijabah. Ia mendo’akan orang yang sakit dan orang yang terkena
musibah agar sehat kembali. Jika benar kau adalah ‘Uzair, maka
berdo’alah kepada Allah (untuk menyembuhkanku) agar mataku dapat kembali
melihat dan mengenalimu.”
Diriwayatkan bahwa ‘Uzair pun berdo’a kepada Allah Ta’ala dan setelah
itu ia menyeka kedua tangannya ke mata wanita tua sehingga kedua matanya
pulih dan dapat melihat kembali seperti sediakala. ‘Uzair memegang
kedua tangan wanita tua dan berkata, “Berdirilah, bi’idznillah!”
Seketika itu pula kedua kaki wanita tua mampu berdiri dan sehat kembali,
ia memperhatikan ‘Uzair dengan seksama dan berkata, “Aku bersaksi bahwa
kau benar-benar ‘Uzair.” Setelah berkata begitu, ia keluar dan langsung
menuju majelis tempat bani Israa’iil berkumpul. Anak-anaknya ‘Uzair
yang telah beranjak tua pun ada di tempat tersebut. Wanita tua memanggil
mereka dan berseru, “Inilah ‘Uzair! Inilah ‘Uzair! Sungguh ia telah
datang kembali kepada kalian.” Bani Israa’iil tidak mempercayainya.
Wanita tua berkata, “Aku adalah pemimpin kalian, ‘Uzair telah berdo’a
kepada Rabbnya untuk menyembuhkan kebutaan dan cacat pada kedua kakiku,
dan ia telah mengaku bahwa Allah telah mewafatkannya selama 100 tahun
lalu membangkitkannya kembali.”
Diriwayatkan bahwa kemudian bani Israa’iil berdiri, mereka menuju tempat
‘Uzair berada. Mereka menerimanya lalu memperhatikan sekujur tubuhnya.
Salah seorang anak ‘Uzair berkata, “Ayahku dahulu memiliki tanda hitam
diantara kedua punggungnya.” Maka diperiksalah punggung ‘Uzair dan
benarlah bahwa terdapat tanda tersebut dan mereka pun yakin ia adalah
‘Uzair. Bani Israa’iil berkata, “Sesungguhnya tidak ada seorangpun
diantara kita yang paling hapal Taurat selain ‘Uzair. Bukhtanashar telah
membakar seluruh Taurat dan tidak tersisa sedikitpun melainkan yang
terdapat pada hapalan beberapa orang laki-laki, maka tuliskanlah kembali
isi Taurat kepada kami.”
Ayahnya ‘Uzair dahulu menyembunyikan sebuah Taurat dan menguburkannya
ketika Bukhtanashar datang, di tempat yang tidak diketahui oleh
seorangpun kecuali oleh ‘Uzair. Bani Israa’iil bersama-sama dengan Uzair
segera menuju tempat tersebut untuk menggali kembali. Namun setelah
digali, didapati ternyata lembaran-lembarannya telah lusuh dan rusak.
‘Uzair duduk di bawah sebuah pohon untuk menuliskan kembali kitab Taurat
sementara bani Israa’iil mengelilingi dan memperhatikannya. Tidak
berapa lama, turunlah dua benda berupa api dari langit, masuk ke dalam
rongga mulut ‘Uzair hingga akhirnya ia pun dapat mengingat keseluruhan
isi Taurat dan menuliskan kembali untuk bani Israa’iil.
Dari peristiwa inilah orang-orang Yahudi kemudian mengatakan, “‘Uzair
adalah putera Allah,” dikarenakan benda bagai api yang masuk ke dalam
rongga mulutnya, penulisan ulang kitab Taurat yang ia lakukan dan kasih
sayangnya terhadap bani Israa’iil. ‘Uzair menulis ulang Taurat di sebuah
daerah di sekitar desa Hizqil, dan kota yang ia meninggal didalamnya
bernama Sayarabadz.
Ibnu ‘Abbaas berkata, “Sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِلنَّاسِ
“Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia.”[QS Al-Baqarah : 259]
Maksudnya adalah tanda kekuasaan Allah bagi bani Israa’iil, dan
disebabkan karena ‘Uzair duduk mengajarkan Taurat bersama kaumnya yang
mana mereka telah beranjak tua dan ‘Uzair terlihat masih seperti seorang
pemuda, hal ini karena ia diwafatkan pada usia menginjak 40 tahun maka
ia pun dibangkitkan kembali oleh Allah dalam wujud seperti seorang
pemuda, sebagaimana keadaannya ketika ia wafat. Ibnu ‘Abbaas berkata,
‘Uzair dibangkitkan setelah masa Bukhtanashar, demikian pula pendapat
Al-Hasan.
Kesimpulan ini kami nukil dari apa yang disimpulkan oleh Al-Haafizh Ibnu Katsiir pada akhir pembahasan kisah ‘Uzair.
Telah masyhur bahwasanya ‘Uzair adalah seorang Nabi dari Nabi-nabi bani
Israa’iil. Ia hidup diantara masa Nabi Daawud dan Sulaimaan, dan
diantara Nabi Zakariyaa dan Yahyaa. Ketika tak ada seorangpun dari bani
Israa’iil yang lebih menghapal Taurat, Allah Ta’ala mengilhaminya untuk
menghapalnya lalu ia membaguskan bacaannya untuk bani Israa’iil,
sebagaimana dikatakan oleh Wahb bin Munabbih, “Allah Ta’ala
memerintahkan Malaikat untuk turun dengan membawa setumpuk cahaya lalu
melemparkannya pada ‘Uzair, maka ‘Uzair dapat menuliskan ulang Taurat
huruf per hurufnya.”
Ibnu ‘Abbaas bertanya kepada ‘Abdullaah bin Sallaam mengenai firman Allah :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ
Orang-orang Yahudi berkata, “‘Uzair itu putra Allah.” [QS At-Taubah : 30]
Maka Ibnu Sallaam menjelaskan kepadanya bahwa hal itu disebabkan ‘Uzair
menuliskan ulang Taurat kepada bani Israa’iil dari hapalannya. Bani
Israa’iil berkata, “Muusaa tidak mampu mendatangkan kepada kami isi
Taurat kecuali dengan cara tulisan, tetapi sesungguhnya ‘Uzair mampu
mendatangkan kepada kami isi Taurat tidak dengan tulisan,” maka
segolongan dari bani Israa’iil menyatakan bahwa, “‘Uzair adalah putra
Allah.”
Dari sini pula, banyak para ulama mengatakan sesungguhnya tingkat
ke-mutawatiran Taurat berakhir pada zaman ‘Uzair. Dan hal ini sangat
jelas menandakan jika ‘Uzair bukan seorang Nabi, sebagaimana
perkataannya ‘Athaa’ bin Abi Rabaah dan Al-Hasan Al-Bashriy seperti yang
diriwayatkan oleh Ishaaq bin Bisyr, dari Muqaatil bin Sulaimaan, dari
‘Athaa’, (dari jalur sanad yang lain) dan dari ‘Utsmaan bin ‘Athaa’
Al-Khurasaaniy, dari Ayahnya dan Muqaatil, dari ‘Athaa’ bin Abi Rabaah,
ia berkata, “Pada masa fatrah telah terjadi 9 peristiwa : Bukhtanashar,
Jannah Shan’aa, Jannah Saba’, Ashhaabul Ukhduud, peristiwa Haashuuraa,
Ashhaabul Kahfi, Ashhaabul Fiil, kota Anthaakiyah, dan peristiwa
Tubba’.”
Al-Hasan dan ‘Athaa’ bin Abi Rabaah berkata bahwa peristiwa Bukhtanashar
dan ‘Uzair terjadi di masa fatrah. Wahb bin Munabbih berkata bahwa
‘Uzair hidup antara masa Nabi Sulaimaan dan Nabi ‘Iisaa. Anas bin Maalik
dan ‘Athaa’ bin As-Saa’ib berkata bahwa ‘Uzair hidup di masa Nabi
Muusaa bin ‘Imraan. Semua ini diriwayatkan oleh Al-Haafizh Ibnu ‘Asaakir
dalam Taariikh-nya.
Diriwayatkan oleh segolongan jama’ah ahli hadits, dengan sanadnya hingga
Yuunus bin Yaziid, dari Ibnu Syihaab Az-Zuhriy, dari Sa’iid bin
Al-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Hurairah,
demikian pula diriwayatkan hingga Syu’aib bin Abu Hamzah, Maalik dan
Al-Mughiirah Al-Hizaamiy, dari Abu Az-Zinaad, dari Al-A’raj ‘Abdurrahman
bin Hurmuz, dari Abu Hurairah, dan diriwayatkan hingga Ma’mar, dari
Hammaam bin Munabbih, dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
نَزَلَ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ تَحْتَ شَجَرَةٍ فَلَدَغَتْهُ نَمْلَةٌ
فَأَمَرَ بِجِهَازِهِ فَأُخْرِجَ مِنْ تَحْتِهَا وَأَمَرَ بِهَا
فَأُحْرِقَتْ فِي النَّارِ قَالَ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ فَهَلَّا
نَمْلَةً وَاحِدَةً
“Seorang Nabi dari para Nabi singgah di bawah sebuah pohon, ia digigit
oleh seekor semut. Lalu ia memerintahkan agar barang bawaannya dijauhkan
dari pohon tersebut kemudian ia memerintahkan agar sarang semut dibakar
dengan api. Maka Allah memberi wahyu kepadanya, “Mengapa tidak hanya
satu semut saja?”
Mujaahid, Hasan Al-Bashriy dan Ibnu ‘Abbaas berkata, Nabi yang dimaksud
dalam sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah ‘Uzair.
Selesai nukilan kesimpulan dari Al-Haafizh Ibnu Katsiir rahimahullah.
Sebagai penutup, kami katakan bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui
kebenaran akan kisah ‘Uzair ini, dikarenakan Al-Qur’an hanya
menerangkannya secara umum dalam Surat Al-Baqarah ayat 259 tanpa
menyebut nama ‘Uzair dan bahwasanya kisah yang detil ini tidak berasal
dari lisan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang ma’shum dan terjaga
dari kesalahan, mungkin para sahabat ataupun tabi’in mengambilnya dari
kisah-kisah Isra’iliyyat yang berasal dari sahabat yang dahulunya adalah
rahib Yahudi seperti ‘Abdullaah bin Sallaam, ataupun dari tabi’in
seperti Ka’b Al-Ahbaar dan Wahb bin Munabbih yang mana telah ma’ruuf
mereka telah memeluk Islam dari agama terdahulu mereka yaitu Nashrani.
Maka berlakulah sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Abdullaah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma, Nabi bersabda :
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا
حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنْ النَّارِ
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat, riwayatkanlah dari bani
Israa’iil dan tidaklah berdosa. Dan barangsiapa berdusta dengan sengaja
atas namaku, maka bersiaplah menempati tempat duduknya dari api neraka.”
[Shahiih Al-Bukhaariy no. 3461]
Jadi, diperbolehkan menceritakan kisah ini dengan tanpa pembenaran, dan
hendaknya disebutkan pula bahwa kisah ini berasal dari kisah
Isra’iliyyat. Ibrah yang bisa diambil dari kisah ‘Uzair adalah betapa
benar firman Allah Ta’ala bahwa Yahudi kerap menzhalimi Nabi-nabi mereka
dengan berkata-kata secara berlebihan mengenainya.
Firman Allah swt :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى
الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ
قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّهُ أَنَّى
يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang
Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah”. Demikianlah itu Ucapan
mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir
yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai
berpaling?” (QS. At Taubah : 30)
Allah Ta’ala juga berfirman :
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ
“Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan
mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah
diperingatkan dengannya.”[QS Al-Maa’idah : 13]
Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka shifatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar