Alkisah, kaum Nabi Nuh as. dibinasakan oleh Allah SWT
karena mereka mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, berbuat zalim,
menyesatkan masyarakat dan bengis terhadap kaum papa (QS Nuh [71]:
21-27, al-Isra’ [17]: 16).
Lalu ada kaum ‘Ad. Kaum ‘Ad adalah kaum yang memiliki peradaban luar
biasa. Gedung-gedung menjulang tinggi. Namun, penguasanya zalim,
sewenang-wenang, bermewahan, kejam dan bengis terhadap orang yang lemah,
menolak dan tidak mau tunduk pada syariah Allah (QS asy-Syu’ara [26]:
123-140). Kebinasaan pun menimpa mereka.
Ada pula kaum Tsamud yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama
dengan kaum ‘Ad. Mereka memiliki keahlian untuk membangun rumah dan
istana yang megah di kaki-kaki bukit yang datar. Orang-orang yang
memiliki kelebihan kekayaan dijadikan panutan dan pimpinan yang disegani
sekalipun perilaku kesehariannya zalim, menyimpang dan semena-mena.
Dengan harta, penguasa mempertahankan kekuasaan. Kolega yang mendukung
mereka diberi imbalan harta dan santunan bekal hidup. Sebaliknya,
orang-orang yang tidak mau tunduk pada kemaksiatan mereka, menentang
kezaliman dan kesewenang-wenangan mereka justru dimusuhi, dihina,
difitnah, bahkan diburu dan ditindas. Alasan yang digunakan adalah
‘mengganggu keamanan dalam negeri’ (QS asy-Syu’ara [26]: 141-159,
al-A’raf [7]: 73-76, an-Naml [27]: 45-49, al-Qamar [54]: 29-32).
Ada lagi yang lain, yaitu Fir’aun. Dia berkuasa dengan kekuatan
ekonomi, ditopang oleh Qarun. Penentangannya terhadap syariah Allah,
kesombongannya, dan kezalimannya terhadap rakyatnya menjadikan jalan
menuju kehancuran bangsanya. Begitu juga kehancuran bangsa-bangsa lain
seperti kaum Luth dan Madyan.
Ada pelajaran dari kehancuran kaum terdahulu itu. Di antara faktor
penting yang mendorong kehancuran, selain ketidaktaatan pada syariah
Allah SWT, adalah kemewahan, kezaliman dan melawan kebenaran.
*****
Marilah kita bercermin. Saat ini tuntutan perubahan terus menggema.
Hal ini bukan hal yang aneh. Sebab, kondisi yang ada di negeri Muslim
terbesar ini makin jauh dari harapan. Para penguasa sekarang hidup
bergelimang dalam kemewahan. Lihatlah, di tengah kondisi rakyat
tercekik karena harga sembako melambung, DPR menghambur-hamburkan uang
Rp 20 miliar sekadar untuk ruangan badan anggaran. Renovasi WC saja Rp
2 miliar. Presiden pun akan memiliki pesawat kepresidenan senilai Rp 1
triliun. Padahal kemewahan inilah yang merupakan cikal bakal
kehancuran suatu bangsa.
Dalam kemewahannya, kezaliman pun terus dilakukan. Sekadar contoh,
konflik tanah terjadi dimana-mana. Konflik tanah di Mesuji dan Bima
hanyalah dua kasus dari fenomena gunung es. Padahal tanah merupakan
persoalan vital. Konflik tanah di berbagai daerah ini menunjukkan wujud
kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak dasar sosial dan ekonomi
rakyat. Lebih dari itu, dalam kasus konflik tanah itu rakyat selalu
dikalahkan. Sebaliknya, perusahaan besar senantiasa menjadi pemenang.
Semua ini menambah deretan realitas bahwa pemerintahan negeri zamrud
khatulistiwa ini mengabdi pada kepentingan pengusaha besar. Negara
korporasi (negara perusahaan) benar-benar tengah berlangsung. Makin
jelas, negara berpihak kepada para pemilik modal. Penguasa bengis
terhadap rakyatnya. Inilah Kapitalisme!
Ketika suara kebenaran Islam mencuat, alih-alih mendukung, perlawanan
justru dilakukan. Munculnya surat Menteri Dalam Negeri kepada Bupati
Indramayu yang meminta tidak memberlakukan Perda yang melarang minuman
keras dan mendesak DPRD untuk mencabut Perda tersebut merupakan salah
satu contoh kecil tentang hal ini. Wujud penentangan terhadap kebenaran
ini pun berupa adanya gerakan deradikalisasi yang ditujukan untuk
menghentikan perjuangan syariah, penangkapan semena-mena terhadap
aktivis Islam dengan menggunakan slogan ‘war on terrorism‘, mendudukan perjuangan syariah dan Khilafah sebagai ancaman.
Dengan demikian, kemewahan, kezaliman, dan penentangan terhadap
kebenaran tengah terjadi. Apa artinya? Negeri Muslim terbesar ini
tengah berjalan secara sengaja di jalan menuju kehancuran sebagaimana
kaum-kaum terdahulu. Apabila semua kita ingin selamat maka perubahan
harus dilakukan!
Keinginan untuk berubah ini makin tampak. Salah satunya mewujud
dalam ketidakpuasan publik yang meningkat. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) selama beberapa periode terakhir ini tidak pernah di atas
angka 30 persen. Bahkan sebelumnya, dalam periode DPR 2004-2009,
tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR rata-rata pertahunnya hanya 24
persen. Realitas ini diakui oleh Ketua DPR, Marzuki Ali. Kita belum
lupa tahun lalu beliau pernah mengatakan, “Prosentase ini menunjukkan
rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang saya pimpin ini.”
(4/4/2012).
Ungkapan-ungkapan para pedagang kaki lima saat digusur “Makan tuh demokrasi!” dan munculnya istilah “democrazy (crazy: gila)” merupakan ungkapan ketidakpercayaan pada demokrasi.
Pada acara ‘Saresehan Anak Negeri’ di salah satu stasiun TV swasta
terungkap pandangan banyak pihak bahwa pemerintah telah menyerahkan
sumberdaya alam kepada pihak asing. Inti dari bahasan acara itu adalah
pemerintah tidak becus mengurus negeri. Sebenarnya, bukan sekadar itu,
negeri ini telah dicengkeram oleh asing kafir penjajah melalui
antek-anteknya. Dalam suatu kesempatan bersilaturahmi dengan Ketua PP
Muhammadiyah, Din Syamsuddin, saya menyampaikan, “Pak Din, Indonesia
memang tengah dicengkeram asing. Sebab, pemerintah sudah menjual ‘tanah
dan air’ ini kepada mereka.”
Ketidakpercayaan ini suatu hal yang tidak mengherankan. DPR
menunjukkan keberpihakan hanya kepada dirinya. Semua pikiran terfokus
pada Pemilu 2014. Pembicaraan yang mendominasi adalah menjatuhkan lawan
politik, mengumpulkan pundi-pundi uang, dan mengelus-elus calon kepala
negara yang akan diusung. Korupsi yang melanda elit pun mendapat
pembelaan. Kalaupun terpaksa tidak dapat dihindari maka langkah
mencopot keanggotaan dan mencabut jabatan dari partainya dilakukan.
Untuk bersih-bersih. Cuci tangan. Kesalahan ditimpakan kepada
perorangan, padahal uang hasil korupsi itu untuk membiayai partai.
Konflik internal partai pun tak dapat dihindari. Semua ini makin
mempertontonkan bahwa demokrasi hanyalah untuk kepentingan elite dalam
meraih kekuasaan.
Di tengah kondisi demikian, Presiden SBY angkat suara. Pidato
Presiden SBY di hadapan para wartawan (14/2/2012) seakan ingin
menegaskan bahwa Indonesia sedang baik-baik saja. Pidato ini pun tidak
mengubah ketidakpercayaan itu. Sebab, ungkapan bertentangan dengan
realitas. Rakyat lebih melihat kenyataan, bukan omongan. Memang, lisan al-hal aqwa min lisan al-maqal (bahasa kenyataan lebih kuat daripada bahasa omongan).
Ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem saat ini merupakan awal dari
perubahan. Hanya saja, yang perlu dicatat, perubahan sejati hanyalah
akan terjadi bila perubahan itu berdasarkan penerapan Islam secara kaffah. [MR Kurnia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar