Pendahuluan
Bangsa arab sebelum datangnya Islam telah memiliki kerajaan-kerajaan
yang berlokasi di tempat yang kini dikenal dengan sebutan Timur Tengah
yakni Jazirah Arab, Syam ( Syuriah, Palestina, Yordania ) dan Mesir. Di
dalam sejarah kerajaan-kerajaan yang ada didaerah tersebut muncul nama
kerajaan Aad yang didirikan oleh suatu kaum yang bernama kaum Aad.
Secara garis besar, bangsa arab merupakan bangsa yang terdiri dari dua
rumpun besar yakni Al-Arabul ‘Aribah dan Al-Arabul Musta’ribah. Bangsa
Al-Arabul ‘Aribah merupakan bangsa arab yang telah musnah dan kaum Aad
merupakan salah satu dari kaum yang telah musnah tersebut. Sejarah kaum
Aad sangat menarik untuk dibahas karena keberadaan kaum Aad pertama kali
justru bukan ditemukan di sumber-sumber sejarah tertulis kaum-kaum kuno
seperti pada umumnya. Keberadaan kaum Aad justru ditemukan pertama kali
di Al-Qur’an yang karena itulah membuat banyak arkeolog penasaran bahwa
benarkah kaum Aad ini ada seperti yang tertulis di kitab suci umat
Islam. Beberapa peneliti yang tertarik menyelidiki langsung tempat kaum
Aad menemukan peninggalan-peninggalan yang tersisa dari kaum Aad dengan
bantuan alat-alat modern. Penemuan bekas-bekas jejak peninggalan kaum
Aad yang dulu pernah menjadi kebanggaan kaum ini dan bisa disimpulkan
juga bahwa sejarah adanya kaum bernama Aad ini dimasa lalu adalah benar.
Asal Usul Kaum Aad
Kaum Aad adalah keturunan dari seseorang yang bernama Aad. Menurut
para ahli Nasab ( ahli silsilah keturunan ), orang yang bernama Aad yang
menjadi asal usul dan menurunkan kaum Aad adalah keturunan dari Sam
putera Nabi Nuh a.s. Jadi, kata Aad memiliki dua arti yaitu seorang
pribadi bernama Aad yang kemudian menjadi asal usul dari kaum Aad dan
suatu kaum atau bangsa yang diturunkan oleh seorang bernama Aad tadi[1]. Didalam Al-Qur’an yang dimaksud dengan kata-kata Aad adalah arti yang kedua yaitu suatu kaum bernama Aad.
Kaum Aad masuk dalam golongan bangsa arab yang telah hilang atau
lenyap yang memiliki arti keturunan mereka tidak ada lagi atau mereka
telah punah. Bangsa arab yang telah hilang itu dalam sejarah dikenal
dengan istilah “ Al-Arab Al-Baidah “ yang artinya bangsa Aarab yang
telah musnah.
Sejarah Kaum Aad
Kaum Aad merupakan kaum yang awalnya bermukim dan menetap di
Mesopotamia ( Irak ). Mesopotamia merupakan sebuah daerah subur yang
didiami oleh berbagai macam suku dan bangsa sehingga daerah ini sangat
padat akan penduduk. Banyaknya suku dan bangsa ini pula mendorong
terjadi banyak peperangan dan perselisihan diantara mereka yang
menyebabkan huru-hara. Kerusuhan yang sering terjadi di Mesopotamia
bahkan bertambah buruk dengan kekejaman-kekejaman yang dilakukan seorang
raja bernama Namrud yang berkuasa di Babylonia ( Mesopotamia Selatan )[2].
kaum Aad merasa Mesopotamia sudah tidak layak lagi untuk ditinggali dan
munculah niat kaum Aad untuk mencari tempat tinggal baru sehingga
mereka memutuskan untuk hijrah ke daerah lain.
Tempat yang dijadikan kaum Aad sebagai tempat tinggal baru mereka
adalah daerah bernama Al-Ahqaaf. Dikota ini kaum Aad mendirikan
infrastuktur yang sangat megah yang diakui bahkan oleh kitab suci umat
Islam yakni Al-Qur’an. Di surat al-fajr ayat 6-8 disebutkan “Apakah kamu
tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad,
(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi yang
belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain”.
Kaum Aad mendirikan kota-kota dan menggali sumber-sumber air lalu
membuat kanal supaya irigasi berjalan teratur. Adanya pengairan yang
teratur ini bumi Al-Ahqaar menjadi subur dan sangat bagus untuk bercocok
tanam. Mereka juga sudah sanggup untuk bisa melakukan eksplorasi sumber
daya alam seperti mengeluarkan logam-logam dari perut bumi dan
mengolahnya menjadi barang kerajinan yang terbuat dari logam. Dari segi
sosial pun kaum Aad diriwayatkan memiliki kebudayaan yang tinggi menurut
ukuran zamannya. Dengan semua hal tersebut mereka telah dapat merasakan
hidup sejahtera dan makmur.
Salah satu dari peradaban kaum Aad yang mencolok seperti yang tertera
disurat al-fajr ayat 6-8, kaum Aad mendirikan sebuah kota bernama Iram
yang sangat megah yang bahkan bisa dibilang sebagai keajaiban dunia
dieranya. Kota ini memiliki menara-menara atau tiang-tiang yang sangat
tinggi. Menara ini bertujuan sebagai tanda bagi para pedagang atau
mushafir yang sedang berjalan melintasi kota Iram. Hal ini membuat Iram
sebagai kota persinggahan para pedagang maupun mushafir. Kota ini
dibangun oleh seorang raja bernama Syadda Ibnu ‘Aad/
Kesejahteraan dan kemakmuran yang diperoleh oleh kaum Aad membuat
hasrat mereka meluaskan kekuasaan dengan menyerang dan memerangi
negeri-negeri yang lain hingga sampailah kekuasaan mereka ke Syam dan
Irak. Perlakuan mereka terhadap lawannya sangat ganas, kejam, dan aniaya
( Q.S. Asy Syua’ra ayat 130 ). Selain prilaku mereka yang tidak lagi
menunjukan rasa kemanusiaan kepada lawan-lawannya, mereka juga telah
menyimpang secara agama dari menganut kepercayaan tauhid kepada
mempertuhankan patung-patung leluhur mereka. Pada awalnya kaum Aad
menganut kepercayaan tauhid akan tetapi seiring berjalannya waktu
terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam kepercayaan itu. Ini terjadi
salah satu faktornya disebabkan oleh lingkungan hidupnya. Patung-patung
yang dibuat untuk mengenang jasa para leluhur mereka kemudian bergeser
dari hanya sekedar penghormatan dan untuk mengenang leluhur mereka
menjadi Tuhan yang mereka sembah. Menurut para Mufassir ada tiga buah
patung yang mereka sembah yakni “Shada”, “Shamud” dan “Hab”[3].
Maka untuk mengembalikan kaum Aad kepada agama tauhid dan memulihkan
rasa kemanusiaan mereka lalu Allah SWT mengutus seorang nabi bernama
Nabi Hud a.s. yang merupakan nabi pertama dari bangsa Arab.
Nabi Hud merupakan orang yang berasal dari golongan kaum Aad sendiri
karena di Al-Qur’an nabi Hud disebut sebagai saudara sekaum dan
seketurunan dengan kaum Aad. Dalam Al-Qur’an terdapat 16 buah surat yang
memuat kisah tentang Nabi Hud dan kaum Aad. Nabi Hud pada awalnya
berusaha mengembalikan kaum Aad kepada kepercayaan ketauhidan dengan
cara menyeru mereka agar kembali menyembah Allah SWT. Nabi Hud
mengundang kaum Aad yang menyembah patung-patung agar memperhatikan
bahwa patung-patung yang mereka sembah dan dianggap Tuhan tidak
mempunyai kekuasaan dan daya apapun. Patung-patung tersebut tidak bisa
menciptakan makhluk, tidak bisa memberi rezeki, tidak dapat menghidupkan
dan mematikan makhluk. Oleh karena itu, menurut Nabi Hud patung
tersebut bukanlah Tuhan dan tidak pantas untuk disembah.
Nabi Hud menyatakan bahwa dia mengajak kaum Aad untuk kembali ke
agama tauhid bukanlah mengharapkan balas jasa, uang, kehormatan, ataupun
upah dari mereka. Ia hanyalah mengerjakan apa yang Tuhan berikan
tanggung jawab kepada dia untuk mengajak kaum Aad untuk kembali kepada
agama tauhid sesuai dengan fitrah manusia. Nabi Hud merasakan
keprihatinannya karena kaumnya tidak bisa membedakan mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang hak dan mana yang batil. Oleh karena mereka
telah bergelimang dosa maka nabi Hud menyerukan mereka agar cepat
memohon ampun kepada Allah SWT dan bertaubat kepada-Nya. Niscaya taubat
mereka akan diterima oleh Allah SWT dan diampuni dosa-dosa mereka lalu
akan diturunkan hujaan yang amat lebat sehingga bumi mereka yang terdiri
dari gurun pasir dan tandus itu akan menjadi subur dan mendatangkan
keberkahan. Akan tetapi perkataan nabi Hud tidak begitu diperdulikan dan
hanya segelintir saja yang beriman kepada ucapan nabi Hud. Mayoritas
kaum Aad menuduh nabi Hud telah dihinggapi penyakit gila yang
ditimpahkan oleh tuhan-tuhan mereka kepadanya. Nabi Hud kemudian
menjawab bahwa ia tidak akan bertanggung jawab lagi atas kemusyrikan
mereka karena ia hanya diperintah sebatas dakwah sementara urusan iman
atau tidaknya kaum Aad akan menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Nabi
Hud kemudian menantang mereka untuk membunuhnya atas ketidakpercayaan
mereka terhadap sifat kenabian yang dimiliki oleh nabi Hud. Ia menantang
kaum Aad yang tidak beriman dengan mengatakan bahwa tuhan-tuhan yang
mereka sembah tidak dapat melakukan apapun kepadanya karena ia
bertawakal kepada Tuhan yang sebenarnya. Nabi Hud kemudian melanjutkan
dengan mengatakan bahwa jika mereka tetap melakukan perbuatan syirik dan
merusak alam maka mereka akan menerima dampak dari apa yang telah
mereka kerjakan.
Diantara kaum Aad ada yang beriman kepada Nabi Hud akan tetapi
jumlahnya hanya sedikit saja. Mereka yang tidak beriman kemudian
diberikan sebuah bencana berupa angin yang sangat kencang yang terjadi
terus menerus selama beberapa hari sehingga kota-kota yang dibanggakan
kaum Aad hancur berkeping-keping dan kaum Aad yang ingkar itu tewas
terkubur didalam tanah. Peristiwa ini mengakhiri kerajaan yang dibangun
oleh kaum Aad. Mereka yang tidak beriman ini kemudian disebut sebagai
“Aad Al-Ula” atau kaum Aad pertama.
Orang-orang yang beriman kepada Nabi Hud berhasil selamat karena
mematuhi Nabi Hud untuk meninggalkan al-Ahqaaf sebelum tertimpa bencana.
Mereka beserta Nabi Hud berpindah meninggalkan al-Ahqaaf menuju ke
daerah selatan yaitu Hadramaut. Kaum Aad yang beriman inilah kemudian
dikenal dalam sejarah sebagai “Aad ats-tsaniyah” atau kaum Aad kedua.
Kaum Aad kedua mendirikan sebuah kerajaan di Hadramaut bernama kerajaan
Aad kedua. Kerajaan ini berumur sekitar 1000 tahun lamanya[4]. Sepanjang 1000 tahun itu kepercayaan kaum Aad kedua kembali lagi menyimpang dari agama tauhid sepeninggal Nabi Hud wafat.
Hagemoni kaum Aad kedua di Hadramaut (Yaman) ini berakhir setelah
kalah berperang melawan bangsa pendatang bernama Bani Qahthan yang
berasal dari Mesopotamia. Alasan Bani Qahthan berpindah ke Yaman sama
halnya seperti ketika kaum Aad pertama berpindah dari Mesopotamia. Bani
Qahthan mencari daerah tempat tinggal baru karena Mesopotamia sudah
sangat padat. Kemenangan Bani Qahthan menyebabkan kekuasaan di Yaman
berpindah tangan akan tetapi kaum Aad kedua tidak ditumpas oleh Bani
Qahthan. Kaum Aad kedua tetap tinggal di Yaman berada dalam kekuasaan
Bani Qahthan. Namun, ada beberapa anggota kaum Aad kedua yang lebih
memilih untuk hijrah ke Habsyah.
Kaum Aad kedua yang menetap di Yaman dan juga yang hijrah ke Habsyah
karena takdir dari Allah SWT lalu mereka musnah. Bani Qahthan yang
berkuasa di Yaman menjadi cikal bakal rumpun bangsa Arab yang dikenal
dengan sebutan “Al-Arab Al ‘Aribah”.
Pencarian Jejak Peninggalan Kaum Aad
Pada awal tahun 1990 muncul keterangan pers dalam beberapa surat
kabar terkenal dunia bahwa “Kota Legendaris Arabia yang Hilang Telah
Ditemukan”, “Kota Legenda Arabia Telah Ditemukan”[5].
Penemuan arkeologis ini lebih menarik karena kota ini juga disebutkan
di Al-Qur’an. Banyak orang beranggapan bahwa kaum yang diceritakan
oleh Al-Qur’an itu hanyalah sebuah legenda belaka. Penemuan ini telah
membuat mereka semua yang menyangsikan kebenaran cerita di Al-Qur’an
menjadi keheranan. Penemuan ini membuktikan cerita lisan yang
dijelaskan secara turun-temurun di suku Badui Arab. Ilmuwan-ilmuwan yang
mendengar penemuan tersebut kemudian menjadi terbangkit rasa
keingintahuannya terhadap kota yang hilang tersebut. Seorang ilmuwan
bernama Nicholas Clapp asal Prancis kemudian berhasil menemukan
fakta-fakta mengenai jejak peninggalan kaum Aad. Clapp membaca sebuah
buku berjudul Arabia Felix yang ditulis seorang peniliti Inggris bernama
Bertram Thomas pada tahun1932. Arabia Felix adalah penamaan Romawi
kepada bagian selatan semenanjung Arabia yang mencakup Yaman dan
sebagian besar Oman[6].
Bangsa Yunani menyebut daerah ini dengan sebutan “Eudaimon Arabia”
sedangkan sarjana Arab abad pertengahan menyebutnya sebagai “Al Yaman Al
Sa’idah”. Semua nama tersebut berarti “Arabia yang Beruntung”. Kenapa
bisa demikian karena orang-orang yang hidup didaerah tersebut pada masa
itu dikenal sebagai orang-orang yang beruntung pada masanya.
Keberuntungan itu berkaitan dengan letak mereka yang strategis menjadi
perantara dalam jalur perdagangan rempah-rempah antara India dengan
Semenanjung Arab Utara. Selain itu, masyarakat yang berdiam didaerah
tersebut memproduksi “frankincense” yaitu sejenis getah wangi dari
pepohonan langka. Produk itu digunakan sebagai dupa untuk melaksanakan
ritual keagamaan. Pada masa itu, getah wangi tersebut sama mahalnya
dengan emas sekarang. Thomas pengarang buku Arabia Felix mengatakan
bahwa ia telah menemukan jejak sebuah kota kuno yang dibangun oleh salah
satu suku yang beruntung tersebut. Kota kuno yang belakangan disebut
sebagai “Ubar”. Thomas ditunjukan sebuah jalur-jalur using oleh suku
Badui dan menyatakan bahwa jalur ini mengarah ke kota kuno. Thomas
meninggal sebelum mampu membuktikan perkataan suku Badui tersebut. Clapp
yang mengkaji tulisan Thomas kemudian meyakini keberadaan kota kuno
yang hilang tersebut. Clapp memulai penelitian dengan dua cara yaitu
dengan meminta NASA (Badan Luar Angkasa Amerika Serikat) untuk
menyediakan foto satelit tersebut. Setelah perjuangan yang panjang,
Clapp berhasil membujuk pihak yang berwenang untuk memotret daerah
tersebut Clapp melanjutkan mempelajari manuskrip dan peta kuno di
perpustakaan Hutington di California. Tujuannya adalah untuk menemukan
peta dari daerah tersebut. Ia menemukan sebuah peta yang digambar oleh
Ptolomeus, ahli geografis Yunani-Mesirdi tahun 200 . Pada tahun ini
ditunjukan jalur-jalur ke sebuah lokasi kota tua yang ditemukan. Foto
yang diambil oleh NASA juga memperlihatkan jalur kafilah terlihat
walaupun secara mata telanjang sulit terlihat tetapi karena difoto
melalui satu kesatuan dari angkasa maka jalur-jalur tersebut jadi
terlihat. Dengan membandingkan kedua fakta tersebut Clapp berkesimpulan
bahwa kedua fakta ini sesuai dan ini merupakan jejak peradaban yang
dicari oleh Thomas dalam bukunya Arabia Felix. Penggalian dilakukan dan
tak berapa lama muncullah sebuah kota tampak dari bawah gurun pasir.
Kota yang ditemukan memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan apa yang
digambarkan oleh Al-Qur’an terhadap kaum Aad yaitu mendirikan kota yang
memiliki tiang-tiang dan menara-menara yang tinggi.
Kesulitannya membuktikan keotentikan sejarah kaum Aad dikarenakan
tidak ditemukannya catatan dan arsip peradaban lama. Satu-satunya
catatan tertulis hanyalah di Al-Qur’an. Namun, fakta ini tidak
mengherankan karena sebuah daerah di Arab Selatan yang jauh dari kaum
lain yang hidup didaerah Mesopotamia menyebabkan sulit tercantum dalam
sejarah bangsa lain karena jarangnya interaksi dengan bangsa-bangsa
besar ketika itu. Alasan lain yang sangat utama adalah karena tidak
adanya budaya untuk menulis dikalangan masyarakat Arab. Kaum Aad yang
telah membuat peradaban yang tinggi tidak didokumentasikan dalam tulisan
oleh bangsa lain.
Pencarian jejak peradaban kaum Aad pertama sempat mengalami kesulitan
karena dan susah ditempuh bernama “Ar Rabu’ul Khali”. Sedangkan jejak
peradaban kaum Aad kedua ada di Hadramaut berupa kota bernama Madinah
Qabri Hud yang terdapat makam Nabi Hud. Tempat ini telah dikunjungi oleh
seorang peniliti bernama Van der Meulen yang kemudian menulis buku
berjudul “Hadramaut, Some Of Its Mysteries Unveiled”[7]. Dibukunya disebutkan bahwa ada reruntuhan-reruntuhan dari sisa-sisa peradaban kaum Aad kedua di Hadramaut.
Kesimpulan
Kaum Aad telah musnah karena tidak ada lagi keturunan yang diwariskan
oleh kaum ini. Kaum Aad pertama dimusnahkan Allah SWT karena mereka
telah mendustai diri mereka sendiri dengan melakukan kekejaman didunia,
kerusakan bagi lingkungan, dan tidak mengimani seruan nabi yang diutus
untuk meluruskan akhlak dan tauhid mereka. Bencana berupa angin kencang
yang mendera Al-Ahqaaf selama berhari-hari telah memusnahkan kaum Aad
pertama. Sedangkan kaum Aad kedua yang selamat dari bencana tersebut
karena mengimani perkataan nabi Hud kemudian hijrah ke Hadramaut. Mereka
pun musnah dengan kedatangan Bani Qahthan ke Yaman lalu berkuasa
menggantikan kaum Aad kedua. Oleh karena itu, kaum Aad masuk dalam
golongan Al Arab Al Baidah yang berarti bangsa Arab yang telah musnah.
DAFTAR PUSTAKA
Yahya, Harun. 2003. Negeri-negeri yang Musnah dan Pembuktian Arkeologis Atas Kehancuran Kaum yang Dimurkai Allah. Bandung : Dzikra.
Yahya, Mukhtar.1985. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta : Bulan Bintang.
[1] Yahya, Mukhtar.1985. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta : Bulan Bintang. Hal. 4
[2] Yahya, Mukhtar.1985. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta : Bulan Bintang. Hal. 3.
[3] Yahya, Mukhtar.1985. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta : Bulan Bintang. Hal. 6.
[4] Yahya, Mukhtar.1985. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta : Bulan Bintang. Hal. 13.
[5] Yahya, Harun. 2003. Negeri-negeri yang Musnah dan Pembuktian Arkeologis Atas Kehancuran Kaum yang Dimurkai Allah. Bandung : Dzikra.
[6] Yahya, Harun. 2003. Negeri-negeri yang Musnah dan Pembuktian Arkeologis Atas Kehancuran Kaum yang Dimurkai Allah. Bandung : Dzikra.
[7] Yahya, Mukhtar.1985. Perpindahan-perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah. Jakarta : Bulan Bintang. Hal. 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar