Peristiwa Ashhabul Ukhdud adalah sebuah tragedi berdarah, pembantaian
yang dilakukan oleh seorang raja kejam kepada jiwa-jiwa kaum muslimin,
ini merupakan kebiadaban dan tindakan tak berprikemanusiaan; namun
akidah tetaplah harus dipertahankan, karena dengannyalah kebahagiaan
yang abadi akan diperoleh. Allah mengisahkan kejadian tragis ini dalam
Alquran.
Kisah ini dikenal dengan kisah ashabul ukhdud yaitu orang-orang yang
membakar orang beriman dalam parit. Orang-orang yang beriman ini tetap
teguh pada keimanan mereka pada Allah, hingga raja di masa itu marah dan
membakar mereka hidup-hidup. Kisah ini mengajarkan wajibnya bersabar
dalam berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus disakiti.
Kisah ini disebutkan dalam firman Allah,
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ (1) وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ (2) وَشَاهِدٍ
وَمَشْهُودٍ (3) قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4) النَّارِ ذَاتِ
الْوَقُودِ (5) إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ (6) وَهُمْ عَلَى مَا
يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ (7) وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا
أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (8) الَّذِي لَهُ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (9)
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan,
dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah
orang-orang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu
bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa
yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak
menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu
beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai
kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.”
(QS. Al Buruj: 1-9).
Kisah selengkapnya mengenai Ashabul Ukhdud diceritakan dalam hadits yang panjang berikut.
Imam Muslim meriwayatkan dari Shuhaib, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ فَلَمَّا
كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلَامًا
أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلَامًا يُعَلِّمُهُ فَكَانَ فِي
طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلَامَهُ
فَأَعْجَبَهُ فَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ
إِلَيْهِ فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى
الرَّاهِبِ فَقَالَ إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِي أَهْلِي
وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ حَبَسَنِي السَّاحِرُ فَبَيْنَمَا هُوَ
كَذَلِكَ إِذْ أَتَى عَلَى دَابَّةٍ عَظِيمَةٍ قَدْ حَبَسَتْ النَّاسَ
فَقَالَ الْيَوْمَ أَعْلَمُ آلسَّاحِرُ أَفْضَلُ أَمْ الرَّاهِبُ أَفْضَلُ
فَأَخَذَ حَجَرًا فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ
إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّةَ حَتَّى
يَمْضِيَ النَّاسُ فَرَمَاهَا فَقَتَلَهَا وَمَضَى النَّاسُ فَأَتَى
الرَّاهِبَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ الرَّاهِبُ أَيْ بُنَيَّ أَنْتَ
الْيَوْمَ أَفْضَلُ مِنِّي قَدْ بَلَغَ مِنْ أَمْرِكَ مَا أَرَى وَإِنَّكَ
سَتُبْتَلَى فَإِنْ ابْتُلِيتَ فَلَا تَدُلَّ عَلَيَّ وَكَانَ الْغُلَامُ
يُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَيُدَاوِي النَّاسَ مِنْ سَائِرِ
الْأَدْوَاءِ فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِيَ فَأَتَاهُ
بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ مَا هَاهُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ
شَفَيْتَنِي فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ
فَإِنْ أَنْتَ آمَنْتَ بِاللَّهِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكَ فَآمَنَ
بِاللَّهِ فَشَفَاهُ اللَّهُ فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا
كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ قَالَ
رَبِّي قَالَ وَلَكَ رَبٌّ غَيْرِي قَالَ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ
فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الْغُلَامِ
فَجِيءَ بِالْغُلَامِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ أَيْ بُنَيَّ قَدْ بَلَغَ
مِنْ سِحْرِكَ مَا تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَتَفْعَلُ
وَتَفْعَلُ فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ
فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الرَّاهِبِ
فَجِيءَ بِالرَّاهِبِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَعَا
بِالْمِئْشَارِ فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ
حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِجَلِيسِ الْمَلِكِ فَقِيلَ لَهُ
ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ
فَشَقَّهُ بِهِ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِالْغُلَامِ فَقِيلَ
لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ
أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى جَبَلِ كَذَا وَكَذَا
فَاصْعَدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَإِذَا بَلَغْتُمْ ذُرْوَتَهُ فَإِنْ رَجَعَ
عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاطْرَحُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَصَعِدُوا بِهِ
الْجَبَلَ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَرَجَفَ بِهِمْ
الْجَبَلُ فَسَقَطُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ
الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَدَفَعَهُ
إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَاحْمِلُوهُ فِي
قُرْقُورٍ فَتَوَسَّطُوا بِهِ الْبَحْرَ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ
وَإِلَّا فَاقْذِفُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ
بِمَا شِئْتَ فَانْكَفَأَتْ بِهِمْ السَّفِينَةُ فَغَرِقُوا وَجَاءَ
يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ
قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَقَالَ لِلْمَلِكِ إِنَّكَ لَسْتَ بِقَاتِلِي
حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ قَالَ وَمَا هُوَ قَالَ تَجْمَعُ
النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَتَصْلُبُنِي عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ خُذْ
سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِي ثُمَّ ضَعْ السَّهْمَ فِي كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ
قُلْ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ ارْمِنِي فَإِنَّكَ إِذَا
فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتَنِي فَجَمَعَ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ
وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ
وَضَعَ السَّهْمَ فِي كَبْدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ
الْغُلَامِ ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِي صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ
فِي صُدْغِهِ فِي مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ النَّاسُ آمَنَّا
بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ
فَأُتِيَ الْمَلِكُ فَقِيلَ لَهُ أَرَأَيْتَ مَا كُنْتَ تَحْذَرُ قَدْ
وَاللَّهِ نَزَلَ بِكَ حَذَرُكَ قَدْ آمَنَ النَّاسُ فَأَمَرَ
بِالْأُخْدُودِ فِي أَفْوَاهِ السِّكَكِ فَخُدَّتْ وَأَضْرَمَ النِّيرَانَ
وَقَالَ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَحْمُوهُ فِيهَا أَوْ قِيلَ
لَهُ اقْتَحِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتْ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِيٌّ
لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلَامُ يَا
أُمَّهْ اصْبِرِي فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ.
“Ada seorang raja pada zaman sebelum kalian. Ia memiliki seorang tukang
sihir. Ketika tukang sihir itu sudah tua, ia berkata kepada si raja,
“Sesungguhnya usiaku telah tua. Oleh karena itu, utuslah kepadaku
seorang pemuda agar aku ajarkan sihir.” Maka diutuslah seorang pemuda
yang kemudian diajarkannya sihir. Di jalan menuju tukang sihir itu
terdapat seorang rahib (ulama). Pemuda itu mendatangi si rahib (ulama)
dan mendengarkan kata-katanya. Si pemuda begitu kagum dengan kata-kata
rahib. Oleh sebab itu, ketika ia pergi menuju tukang sihir, ia mampir
dulu kepada si rahib sehingga (karena terlambat datang) tukang sihir itu
memukulinya. Maka pemuda itu mengeluh kepada si rahib, lalu rahib itu
menasihatinya dan berkata, “Jika kamu takut kepada pesihir, maka
katakanlah, “Keluargaku menahanku. Dan jika kamu takut kepada
keluargamu, maka katakanlah, “Tukang sihir menahanku.” Ketika keadaan
seperti itu, ia bertemu dengan binatang besar yang menghalangi jalan
manusia (sehingga mereka tidak bisa lewat). Maka si pemuda berkata,
“Pada hari ini aku akan mengetahui, apakah si pesihir lebih utama
ataukah si rahib (ulama).” Setelah itu, ia mengambil batu sambil
berkata, “Ya Allah, jika perintah rahib (ulama) lebih Engkau cintai
daripada perintah pesihir maka bunuhlah binatang ini, sehingga manusia
bisa lewat.” Lalu ia melemparnya, dan binatang itu pun terbunuh dan
orang-orang bisa lewat. Lalu ia mendatangi si rahib dan memberitahukan
hal itu kepadanya. Rahib (ulama) berkata, “Wahai anakku, pada hari ini
engkau telah menjadi lebih utama dari diriku. Urusanmu telah sampai pada
tingkatan yang aku saksikan. Kelak, engkau akan diuji. Jika engkau
diuji maka jangan tunjukkan diriku.” Selanjutnya, pemuda itu bisa
menyembuhkan orang yang buta, sopak dan segala jenis penyakit. Alkisah,
ada pejabat raja yang buta yang mendengar tentang si pemuda. Maka ia
membawa hadiah yang banyak kepadanya sambil berkata, '”Apa yang ada di
sini, aku kumpulkan untukmu jika engkau dapat menyembuhkan aku.” Pemuda
itu menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seseorang. Yang menyembuhkan
adalah Allah. Jika engkau beriman kepada Allah, maka saya akan berdoa
kepada Allah, agar Dia menyembuhkanmu.” Lalu ia beriman kepada Allah,
dan Allah menyembuhkannya. Kemudian ia datang kepada raja dan duduk di
sisinya seperti biasanya. Si raja berkata, ”Siapa yang menyembuhkan
penglihatanmu?” Ia menjawab, “Tuhanku.” Raja berkata, “Apakah kamu
memiliki Tuhan selain diriku?” Ia menjawab, “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu
adalah Allah.” Maka Raja menangkapnya dan terus-menerus menyiksanya
sampai ia menunjukkan kepada si pemuda. Pemuda itu pun didatangkan. Si
raja berkata, “Wahai anakku, sihirmu telah sampai pada tingkat kamu bisa
menyembuhkan orang buta, sopak dan kamu bisa berbuat ini dan itu.” Si
pemuda menjawab, “Aku tidak mampu menyembuhkan seorang pun. Yang
menyembuhkan hanyalah Allah.” Lalu ia pun ditangkap dan terus disiksa
sehingga ia menunjukkan kepada rahib (ulama). Maka rahib (ulama) itu pun
didatangkan. Si raja berkata, “Kembalilah kepada agamamu semula!” Ia
menolak. Lalu di tengah-tengah kepalanya diletakkan geregaji dan ia
dibelah menjadi dua. Kepada pejabat raja yang (dulunya) buta juga
dikatakan, “Kembalilah kepada agamamu semula!” Ia menolak. Lalu di
tengah-tengah kepalanya diletakkan geregaji dan ia dibelah menjadi dua.
Kepada si pemuda juga dikatakan, “Kembalilah kepada agamamu semula!” Ia
menolak. Lalu ia diserahkan kepada beberapa orang untuk dibawa ke gunung
ini dan itu. (Sebelumnya) si raja berkata, “Ketika kalian telah sampai
pada puncak gunung maka jika ia kembali kepada agamanya (biarkanlah
dia). Jika tidak, maka lemparkanlah dia!” Mereka pun berangkat. Ketika
sampai di puncak gunung, si pemuda berdoa, 'Ya Allah, jagalah diriku
dari mereka, sesuai dengan kehendak-Mu.” Tiba-tiba gunung itu
mengguncang mereka, sehingga semuanya terjatuh. Lalu si pemuda datang
sampai bertemu raja kembali. Raja berkata, “Apa yang terjadi dengan
orang-orang yang bersamamu?” Ia menjawab, “Allah menjagaku dari mereka.”
Lalu ia diserahkan kepada beberapa orang dalam sebuah perahu. Raja
berkata, “Bawalah dia dan angkut ke dalam sebuah kapal. Jika kalian
berada di tengah lautan (maka lepaskanlah ia) jika kembali kepada
agamanya semula. Jika tidak, lemparkanlah dia ke laut.” Si pemuda
berdoa, 'Ya Allah, jagalah aku dari mereka, sesuai dengan kehendak-Mu.”
Akhirnya perahu terbalik dan mereka semua tenggelam (kecuali si pemuda).
Si pemuda datang lagi kepada raja. Si raja berkata, “Apa yang terjadi
dengan orang-orang yang bersamamu?” Ia menjawab, “Allah menjagaku dari
mereka.” Lalu si pemuda berkata, “Wahai raja, kamu tidak akan bisa
membunuhku sehingga kamu melakukan apa yang kuperintahkan.“ Raja
bertanya, “Apa perintah itu?” Si pemuda menjawab, “Kamu kumpulkan
orang-orang di satu lapangan yang luas, lalu kamu salib aku di batang
pohon. Setelah itu, ambillah anak panah dari wadah panahku, dan
letakkanlah panah itu di tengah busurnya kemudian ucapkanlah,
'Bismillahi rabbil ghulam (dengan nama Allah; Tuhan si pemuda).” Maka
raja memanahnya dan anak panah itu tepat mengenai pelipisnya. Pemuda itu
meletakkan tangannya di bagian yang terkena panah lalu ia meninggal
dunia. Maka orang-orang berkata, “Kami beriman kepada Tuhan si pemuda.
Kami beriman kepada Tuhan si pemuda. Lalu raja didatangi dan
diberitahukan, “Tahukah engkau, sesuatu yang selama ini engkau
takutkan?” Demi Allah, sekarang telah tiba, semua orang telah beriman.”
Lalu ia memerintahkan membuat parit-parit di beberapa pintu jalan,
kemudian dinyalakan api di dalamnya. Raja pun menetapkan, “Siapa yang
kembali kepada agamanya semula, maka biarkanlah dia. Jika tidak, maka
bakarlah dia di dalamnya,” atau raja berkata, “Masukkanlah.” Maka
orang-orang pun melakukannya (masuk ke dalam parit dan menolak murtad).
Hingga tibalah giliran seorang wanita bersama anaknya. Sepertinya, ibu
itu enggan untuk terjun ke dalam api. Lalu anaknya berkata, “Bersabarlah
wahai ibuku, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.” (Hadits ini
diriwayatkan pula oleh Ahmad, Nasa'i dan Tirmidzi. Ibnu Ishaq
memasukkannya dalam As Sirah dan disebutkan bahwa nama pemuda itu adalah
Abdullah bin At Taamir)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ar Rabii’ bin Anas tentang firman Allah
Ta’ala, “Binasalah orang-orang yang membuat parit.” Ia berkata, “Kami
mendengar, bahwa mereka adalah orang-orang yang berada di zaman fatrah
(kekosongan nabi). Ketika mereka melihat fitnah dan keburukan yang
menimpa manusia saat itu sehingga manusia ketika itu terbagi menjadi
beberapa golongan, dimana masing-masing golongan bangga dengan apa yang
ada padanya, maka mereka mengasingkan diri ke suatu negeri dan beribadah
kepada Allah di sana dengan ikhlas. Demikianlah keadaan mereka,
sehingga terdengarlah berita mereka oleh salah seorang penguasa kejam,
lalu penguasa kejam ini mengirimkan orang-orang untuk memerintahkan
mereka menyembah berhala yang disembahnya, namun mereka semua menolak
dan berkata, “Kami tidak akan menyembah kecuali Allah saja yang tidak
ada sekutu bagi-Nya.” Maka penguasa itu berkata kepada mereka, “Jika
kamu tidak mau menyembah sesembahan ini, maka aku akan membunuh kalian.”
Mereka tetap tidak mau menyembahnya, maka penguasa itu membuatkan parit
yang berisi api, dan berkata kepada mereka setelah mereka dihadapkan
kepadanya, “Pilih ini atau mengikuti kami.” Mereka menjawab, “Ini lebih
kami sukai.” Ketika itu, di antara mereka ada kaum wanita dan anak-anak,
dan anak-anak pun kaget, maka orang tua mereka berkata kepada
anak-anak, “Tidak ada lagi api setelah ini.” Maka mereka pun masuk ke
dalamnya, dan ruh mereka pun dicabut lebih dahulu sebelum tersentuh
panasnya. Kemudian api itu keluar dari tempatnya lalu mengelilingi
orang-orang yang kejam itu dan Allah membakar mereka dengannya. Tentang
itulah, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Binasalah orang-orang
yang membuat parit. Sampai ayat, “Yang memiliki kerajaan langit dan
bumi. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Terj. Al Buruuj:
4-9).” (HR. Ibnu Abi Hatim, dan Muhammad bin Ishaq meriwayatkan kisah
As-habul Ukhdud dengan susunan yang lain, dan bahwa hal itu terjadi pada
Abdullah bin At Taamir dan kawan-kawannya yang beriman di Najran,
wallahu a’lam.)
Semuanya makhluk dan hamba-Nya, Dia bertindak terhadap mereka dengan tindakan Raja terhadap kerajaannya.
Beberapa faedah dari kisah di atas:
1- Raja yang zalim akan terus mencari pewarisnya dan ingin kekuasaannya terus ada.
2- Raja atau penguasa yang tidak berhukum dengan syari’at Allah biasa
menggunakan dukun dan sihir untuk mendukung kekuasaannya, seperti ini
tetap terus ada hingga saat ini.
3- Anjuran mengajari anak sejak kecil karena hasilnya lebih mudah
melekat dibanding sudah besar. Seperti kata pepatah arab, innal ‘ilma
fish shighor kan-naqsyi fil hajar, artinya sesungguhnya ilmu ketika
kecil seperti memahat di batu. Artinya, ilmu ketika kecil itu lebih
kokoh.
4- Adanya karomah para wali. Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertakwa.
5- Hati hamba di tangan Allah. Allah sesatkan siapa yang Dia kehendaki
dan memberi petunjuk pada siapa yang Dia kehendaki. Pemuda dalam kisah
ini padahal dalam pengasuhan raja dan pengajaran tukang sihir, namun ia
bisa mendapat hidayah pada kebenaran.
6- Pemuda ini menyandarkan penyembuhan pada Allah, bukan pada dirinya.
Sehingga hal ini menunjukkan janganlah tertipu dengan karomah atau
kejadian aneh yang bisa diperbuat seseorang.
7- Boleh menguji kebenaran seseorang ketika dalam kondisi ragu atau hati
yang berguncang. Seperti pemuda ini menguji apakah yang benar adalah
tukang sihir ataukah rahib (pendeta) dengan melempar binatang besar.
8- Pendeta tadi menyarankan pada pemuda untuk mengatakan “Jika engkau
khawatir pada tukang sihir tersebut, maka katakan saja bahwa keluargaku
menahanku. Jika engkau khawatir pada keluargamu, maka katakanlah bahwa
tukang sihir telah menahanku.” Ini menunjukkan bahwa mengakal-akali
orang lain (berbohong) itu boleh jika ada maslahat seperti saat perang
atau untuk menyelematkan diri.
9- Ada orang beriman yang digergaji demi mempertahankan imannya.
10- Allah selalu memenangkan kebenaran dan menolong orang yang berpegang teguh pada kebenaran.
11- Boleh bagi seseorang mengorbankan dirinya sendiri jika ada maslahat
agama yang besar seperti pemuda ini yang mengorbankan dirinya dan
membuat seluruh rakyat beriman pada Allah.
12- Nampak jelas perbedaan thoghut dan da’i ilallah. Thoghut mengajak
manusia supaya menjadikan ibadah pada sesembahan selain Allah. Sedangkan
da’i ilallah mengajak manusia peribadatan pada Allah saja.
13- Kadang seorang wali Allah diberi karomah berulang kali, tujuannya untuk mengokohkan imannya.
14- Orang kafir tidak bisa membantah argumen dari orang beriman. Yang
membuat mereka menolak kebenaran adalah karena sifat sombong yang ada
pada mereka.
15- Orang yang zalim akan menindak orang yang tidak mau manut pada
perintahnya dan menindak setiap orang yang beriman pada Allah, tujuannya
supaya kekuasaan dunia mereka langgeng.
16- Melalui orang zalim dapat muncul bukti kebenaran. Rakyat dalam kisah
ini beriman kepada Allah disebabkan karena kokoh, jujur dan ketakutan
pemuda ini hanya pada Allah.
17- Di antara bayi yang bisa berbicara padahal masih dalam momongan
adalah bayi dalam kisah ini, selain itu juga ada bayi yang diajak bicara
oleh Juraij dan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam. Jadi, ada tiga bayi yang bisa
bicara ketika masih dalam momongan.
18- Cerita ini menunjukkan mukjizat Al Qur’an karena cerita ini hampir dilupakan dalam sejarah dan disebutkan dalam Al Qur’an.
19- Boleh mengajari orang lain dengan menyebutkan kisah seperti ini.
Karena kadang dengan nasehat langsung sukar diterima, beda halnya dengan
menyampaikan kisah.
20- Setiap pemuda hendaklah mencontoh perjuangan pemuda dalam kisah ini,
yaitu hendaklah ia berpegang teguh pada kebenaran dan terus bersabar,
jangan sampai terjerumus dalam jalan kesesatan walau diancam dengan
nyawa.
21- Wajib bagi setiap orang yang diuji keimanannya untuk bersabar, meski
harus mengorbankan nyawa. Namun dalam masalah ini ada dua rincian:
(1) Maslahatnya kembali pada diri sendiri. Ketika diperintahkan
mengucapkan kalimat kufur, misalnya, maka ia bisa memilih mengucapkannya
ketika dipaksa, asalkan hati dalam keadaan tetap beriman. Ia juga boleh
memilih untuk tidak mau mengucapkan walau sampai mengorbankan nyawanya.
(2) Maslahatnya kembali pada orang banyak. Misalnya, kalau seandainya
ia kafir di hadapan orang banyak, maka orang lain pun bisa ikut sesat.
Dalam kondisi ini tidak boleh seseorang mengucapkan kalimat kufur, ia
harus bersabar walau sampai dihilangkan nyawa. Hal ini dapat kita
temukan dalam kisah Imam Ahmad yang masyhur. Ketika ia dipaksa
mengucapkan ‘Al Qur’an itu makhluk, bukan kalam Allah’. Imam Ahmad
enggan dan akhirnya ia disakiti dengan dicambuk. Tetapi beliau tetap
kokoh memegang prinsip Al Qur’an itu kalam Allah, bukan makhkuk. Jika
Imam Ahmad tidak memegang prinsipnya tersebut, tentu manusia akan ikut
sesat.
22- Hadits ini juga menunjukkan terkabulnya do’a orang yang dalam
kondisi terjepit seperti do’a pemuda ini ketika ingin dilempar dari
gunung dan ditenggelamkan di tengah lautan.
23- Kisah ini mengajarkan wajibnya bersabar ketika disakiti padahal berada dalam kebenaran.
Semoga kita bisa memetik pelajaran-pelajaran berharga dari kisah pemuda ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar